Latest Entries »

Sebab-Sebab Perlunya Pemerintahan Yang Baik

Bagian terakhir dari pembedaan terminologi pemerintah oleh Finer menyisakan satu pengertian yang menarik, yaitu hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.  Menurutnya (dalam Kuper, 2000:419) relasi antara pemerintah dan yang diperintah berkaitan dengan sejauhmana peranan pemerintah dalam melakukan intervensi terhadap warga negara bagi upaya mencapai tujuan.  Dalam fenomena yang lazim, sebagian pemerintah yang menganut paham demokrasi berupaya meminimalisir intervensi terhadap kebebasan individu.  Pemerintah demokratis biasanya menyandarkan dirinya sebagai pelayan bagi masyarakatnya.  Sebaliknya, pemerintah totaliter lebih memaksimalkan upaya untuk sedapat mungkin menyentuh kebebasan individu dengan menyandarkan diri sebagai majikan bagi mereka yang diperintah.  Sekalipun demikian, keduanya memiliki alasan yang dapat diterima, baik karena kondisi masyarakat maupun keinginan dari mereka yang kita sebut sebagai pemerintah.

Gejala kekerasan masyarakat dalam relasinya dengan pemerintah setidaknya dapat dipahami dengan melihat sistem politik yang dianut.  Indonesia mencoba menerapkan sistem politik demokratis sebagai antitesa atas runtuhnya sistem otoritarianisme lewat simbol militeristik dalam kehidupan berpolitik dan berpemerintahan.  Dengan sistem ini, pemerintah menjaga jarak dalam konteks intervensi yang berlebihan pada masyarakat.  Kondisi ini bertujuan untuk mendorong masyarakat agar berdaya (empowerment) guna mencapai cita-cita yang diinginkan bersama.  Rendahnya intervensi pemerintah merupakan refleksi atas pengakuan bahwa pemerintah memang diproduk oleh masyarakat, sehingga tak berlebihan jika mereka bertanggungjawab (re-accountability).  Intervensi pemerintah diperlukan manakala aktivitas masyarakat menunjukkan suatu kondisi yang mengancam keselamatan orang lain, publik secara luas, bahkan pemerintah itu sendiri.  Penggunaan kekerasan sebagai bentuk intervensi yang berlebihan dapat mengancam legitimasi pemerintah oleh rakyat yang notabene telah memilihnya.  Penegakan aturan seyogyanya dilakukan dengan mempertimbangkan banyak faktor, seperti sentimen agama, ras, dan golongan.

Paradigma baru ilmu pemerintahan dibangun dengan mendasarkan diri pada kultur kekuasaan, ekonomi dan sosial sebagai suatu rangkaian skematis yang saling tergantung.  Kultur kekuasaan mendorong pemerintah mendesain dirinya menjadi sebaik mungkin sebagai pemerintah (good government) dalam konteks memproduk regulasi, melakukan pembangunan, pemberdayaan dan memaksimalkan pelayanan, baik pelayanan umum  (public good) maupun pelayanan yang bersifat privacy.  Kultur ekonomi mendorong pemerintah berkewajiban memberikan keleluasaan pada kelompok penyandang dana (kapitalis) memposisikan dirinya sebagai kelompok yang bertugas membantu memberdayakan masyarakat melalui modal yang dikuasai.  Sedangkan kultur sosial sebagai subjek dan objek yang dilayani mendorong pemerintah untuk memberikan pelayanan yang terbaik serta memberikan hak pada rakyat untuk mengawasi proses pemerintahan, sebab disanalah kedaulatan dipandang bermula.  Secara filosofis, Ndraha (1999:5) menegaskan bahwa keseluruhan gejala pemerintahan berawal dari Tuhan dan berakhir pada manusia sebagai objek dan subjek yang layani.  Jika dihubungkan dengan agama, gejala ini mengingatkan kita tentang makna spiritual ibadah Sholat bagi kaum Muslimin yang memulai gerakan sholatnya dengan pengakuan kebesaran Tuhan (Allahu Akbar) dan diakhiri dengan keselamatan bagi lingkungan sekitarnya (Assalamualikum Warahmatullohi Wabarakatuh).  Suatu gerakan yang menggambarkan filosofi kehidupan manusia dalam relasi vertikal dan horisontal.

Sebagai representasi rakyat, pemerintah merupakan entitas yang dipandang paling berdaulat.  Statement ini untuk membedakan bahwa tidak semua organisasi yang memiliki kesamaan struktur dan fungsi sebagaimana organisasi pemerintah dapat disebut sebagai entitas pemerintah yang berdaulat.  Sebagai contoh, setiap lembaga serikat seperti asosiasi pemerintah kabupaten/kota, asosiasi pemerintah provinsi, asosiasi pemerintah desa, asosiasi dewan, pengurus olah raga atau pengurus rumah ibadah sekalipun memiliki sistem secara formal dan mampu membuat keputusan yang bersifat mengikat secara internal tidaklah dapat disebut sebagai pemerintah.  Tentu saja, organisasi pemerintah jauh lebih kompleks dibanding asosiasi lain.

Pada dasarnya, pemerintah boleh jadi ada tanpa negara, dengan kata lain pemerintah hadir mendahului negara, sebab pemerintah hanyalah salah satu unsur yang mengkonstruksi negara secara abstraktif.   Nyatanya, secara antropologis,  problem sosial selama ini dapat diselesaikan melalui proses sosial tanpa mengikutsertakan kekuatan pemaksa yang melekat pada negara.  Bahkan, dalam banyak kasus ditengah-tengah masyarakat traditional hingga modern sekalipun, konflik politik seringkali dapat diselesaikan melalui cara-cara lokal penuh adab.  Inilah yang sering kita sebut sebagai penyelesaian konflik dengan menggunakan pendekatan ”kearifan lokal” (indegenious local).  Tercerabutnya akar-akar sosial sebagai sumber daya lokal dalam konteks tersebut, pada kenyataanya lebih banyak disebabkan oleh tingginya intervensi negara melalui regulasi yang di desain hingga menyusutkan ”otonomi asli”.  Padahal, entitas sosial budaya yang lambat laun beradaptasi membentuk sistem hukum tersendiri justru mendahului kelahiran entitas pemerintah secara luas sekelas negara.

Dalam sistem pemerintahan yang lebih maju, pemerintah yang berdaulat ditandai oleh pemisahan pekerjaan oleh badan eksekutif, legislatif dan yudikatif.  Badan eksekutif memainkan peranan penting dan secara umum dominan dalam mengimplementasikan peraturan pada masyarakat.   Badan legislatif bertugas memproduk peraturan sebagai landasan formal yang mengikat secara keseluruhan.  Sedangkan badan yudikatif bertanggungjawab untuk menjaga, menafsirkan serta mengawal jalannya peraturan berdasarkan kasus yang diterapkan.

Pemerintahan merupakan gejala yang lebih umum dibandingkan terminologi pemerintah itu sendiri.  Pemerintahan menunjukkan pada aktivitas kekuasaan dalam berbagai ranah publik.  Ia tidak saja merujuk pada pemerintah itu sendiri, namun berkaitan pula pada aktivitas dalam berbagai konteks kelembagaan dengan tujuan mengarahkan, mengendalikan, mengatur semua hal yang berkaitan dengan ranah publik seperti kepentingan warga negara, pemilik suara (voters) maupun para pekerja (workers). Jika peran pemerintah sebatas pada otoritas politik semata guna menjaga ketentraman dan ketertiban umum melalui fungsi eksekutifnya, maka menurut Robinson (dalam Kuper, 2000:417), pemerintahan lebih mengacu pada proses pengelolaan politik, gaya atau model pengurusan masalah-masalah umum serta pengelolaan sumber daya umum.  Dalam konteks itu, menurut Robinson setidaknya terdapat 3 (tiga) nilai penting yang menjadi sentrum dalam pembicaraan pemerintahan, yaitu ; akuntabilitas, legitimasi dan transparansi.  Akuntabilitas berkaitan dengan seberapa besar efektivitas pengaruh dari mereka yang diperintah terhadap orang yang memerintah.  Atau dalam bahasa sederhana adalah seberapa besar tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap pemerintahnya.  Legitimasi menunjukkan pada hak negara untuk menjalankan kekuasaan terhadap warganya serta seberapa jauh kekuasaan tersebut dipandang sah untuk diterapkan. Hal ini berkaitan dengan seberapa wajar dan pantas kekuasaan pemerintah patut dilakukan, mengingat pemerintah adalah produk dan representasi dari masyarakat itu sendiri. Tranparansi berhubungan dengan seberapa terbuka negara dalam menciptakan mekanisme untuk menjamin akses umum dalam pengambilan keputusan.  Ini berkaitan dengan seberapa besar keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang meyakinkan mereka sebagai bagian dari semua konsekuensi yang akan terjadi.

Fenomena pemerintahan dewasa ini telah meluas tidak saja pada dunia pemerintah semata, tetapi juga pada ruang non pemerintah seperti perusahaan.  Upaya-upaya dalam rangka penerapan kekuasaan melalui serangkaian mekanisme untuk menjamin akuntabilitas, legitimasi dan tranparansi pada berbagai sektor diluar pemerintah menunjukkan gejala pemerintahan yang semakin menguat.  Setidaknya hal ini terlihat dalam pembentukan serangkaian aturan atau struktur otoritas dalam komunitas tertentu yang memainkan peran atau fungsi pengelolaan sumber daya termasuk dalam menjaga tatanan sosial.  Meluasnya upaya untuk menata pemerintahan kearah yang lebih baik mendorong donor international untuk mengembangkan konsep good governance (pemerintahan yang baik). Pengembangan konsep ini didorong oleh gejala meningkatnya hambatan-hambatan administrasi dan politik dalam pembangunan dunia ketiga.  Gejala tersebut antara lain meningkatnya korupsi, kolusi, nepotisme, individualisme serta hilangnya legitimasi politik khususnya pada negara-negara yang kurang mampu dan tanpa sistem demokrasi yang memadai.  Berlawanan dari konsep ideal yang ingin dikembangkan, bad governance (pemerintahan yang buruk) menjadi alasan bagi lembaga international untuk mengembangkan pola yang lebih mungkin dalam kaitan dengan manajemen ekonomi dan politik global.

Dalam perspektif negara-negara maju, dua alasan utama yang mendorong lahirnya gagasan penciptaan pemerintahan yang baik adalah pertama, gagalnya pemerintah menjalankan fungsinya yang ditandai oleh tidak bekerjanya hukum dan tata aturan sehingga menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah tentang bagaimana seharusnya pemerintah berinteraksi dengan masyarakatnya.  Ini tentu saja berkaitan dengan tanggungjawab pemerintah pada masyarakatnya, demikian pula kewajiban dan hak yang saling mengikat antara mereka yang memerintah dan mereka yang diperintah.  Kedua, tekanan dari kelompok neo-liberal yang mendukung dikuranginya peran negara dan pengimbangan kekuasaan kepada penyediaan layanan oleh pembeli dan pengatur.  Atau dengan kata lain, pemangkasan peran pemerintah sejauh mungkin dengan cara penyerahan kepentingan antara penjual dan pembeli pada mekanisme pasar.

Sekalipun upaya-upaya untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik dilakukan misalnya melalui desentralisasi kekuasaan, reformasi pemerintahan, reorientasi birokrasi serta perluasan partisipasi publik untuk mengembalikan akuntabilitas, legitimasi dan transparansi, namun bukan berarti sepi dari dampak pengelolaan pemerintahan.  Di negara-negara berkembang, kebijakan demikian semakin memperkokoh tumbuhnya demokrasi liberal yang pada akhirnya mendorong kembalinya pemerintah (eksekutif) meningkatkan kontrol yang lebih represif.  Bagaimanapun kita masih percaya bahwa menciptakan pemerintahan yang kuat mutlak dibutuhkan bagi stabilitas politik yang menjadi jaminan bagi keberhasilan pembangunan.

Konsepsi Pemerintahan Yang Baik

Konsepsi pemerintahan yang baik patut dikaji secara mendalam, mengingat konsep ini banyak dipakai dalam mendesain praktek pemerintahan dalam arti yang sesungguhnya.  Guna memperbincangkan konsep pemerintahan yang baik, ada baiknya kita bergerak dari tiga pertanyaan pokok yaitu, apakah pemerintahan yang baik itu, mengapa suatu pemerintahan harus baik, lalu bagaimana mengkonstruksikan pemerintahan yang baik dalam realitasnya.

Apakah pemerintahan yang baik itu?

Pemerintahan yang baik senyatanya menunjukkan dua konsep penting yaitu pemerintahan (government)[1] dan segala hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kebaikan (public good/common goods).[2] Pemerintahan, dalam banyak pemahaman setidaknya dimaknai sebagai interaksi dinamis antara kelompok minoritas sebagai organisasi istimewa dengan kelompok mayoritas yang meletakkan seluruh kepentingannya untuk dilayani.  Organisasi istimewa tersebut berkenan mengelola kepentingan mayoritas untuk suatu tujuan yang disepakati bersama. Seperti yang telah kita bahas di awal, bahwa organisasi istimewa memiliki kekuasaan dalam batasan yang ditentukan baik secara lisan maupun tulisan (Friedman,1973).  Pada organisasi pemerintahan traditional, kekuasaan pemerintah ditentukan menurut selera penguasa dalam bentuk firman, sabda, titah maupun perintah-perintah langsung. Di belahan timur, pengaruh kosmokrasi[3] sangat kental dalam konteks mistik.  Berbeda di belahan barat yang meletakkan isu lingkungan sebagai bentuk legitimasi kosmokrasi (Alfian:2010). Semua perintah biasanya memiliki kekuatan hukum yang mengikat keluar, namun seringkali dalam banyak kasus tak berlaku untuk sang penguasa sendiri.  Seperti pisau bermata satu, tajam kebawah namun tumpul ke atas. Seluruh perintah yang dikeluarkan untuk membentuk tatanan pemerintahan sesuai keinginan penguasa, baik secara de fakto maupun de jure (Peters,1967, R.Dahl dalam Alfan,2010:222).[4] Dalam hubungan ini sangat bergantung pada penguasa, apakah tatanan pemerintahan yang dibentuk baik atau sebaliknya (Suseno:1999).  Dalam pandangan masyarakat dapat saja berbeda, namun disinilah makna keistimewaan dimaksud, yaitu meletakkan semua aturan termasuk yang paling ekstrem sekalipun agar efektif mengikat keluar berdasarkan persepsi penguasa dan bukan sebaliknya.  Akibatnya, dalam banyak kasus pemerintahan merupakan sumber masalah (problem resourches), bukan pemecah masalah (problem solved).   Sebaliknya, dalam organisasi pemerintahan modern, kekuasaan yang dijalankan pemerintah ditentukan dalam suatu konsensus yang relatif permanen.  Sekalipun sering terjadi perubahan (amandemen) dalam konsensus yang dibangun, namun dapat dipahami bahwa perubahan tersebut lebih merupakan output dari interaksi yang selama ini terjadi guna menjaga keseimbangan antara pemerintah sebagai organisasi pelayan dan masyarakat disatu sisi sebagai pihak yang paling berkepentingan dalam memetik manfaat (stakeholders).  Harus diakui bahwa dalam konteks ini keistimewaan pemerintah tetap eksis bahkan berkembang sekalipun bentuk organisasi pemerintahan modern menjadi relatif permanen dibanding organisasi pemerintahan traditional. Kekuasaan pemerintahan tetap terlihat lebih dominan baik sebagai pengatur utama (regulator), pelayan terdepan (public service), pembangun raksasa (development) maupun pemberdaya kaum mayoritas (empowerment).

Dengan keistimewaan itu, maka pemerintah sebagai suatu organisasi baik traditional maupun modern kadang melampaui batas.  Batas-batas tersebut adalah wilayah kehidupan sosial yang membutuhkan ruang bagi tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan dalam bentuk kreativitas, inovasi dan kemandirian. Dalam pandangan Rousseau, Montesqueu atau Imanuel Kant, kontrak sosial dibagi dalam proporsi yang saling menguntungkan dan menghormati. Bukan saling meniadakan. Namun, berapapun luasnya konsekuensi yang dipegang oleh masyarakat, keistimewaan organisasi pemerintah tetap cenderung lebih kuat dalam banyak hal, khususnya penggunaan daya paksa melalui perlengkapan senjata yang dimiliki. Dalam kaitan inilah keistimewaan organisasi pemerintah perlu di kontrol melalui penanaman nilai-nilai kebaikan.  Dengan demikian maka keistimewaan tersebut menjadi efektif untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang disepakati bersama tanpa perasaan takut akibat penggunaan kekuasaan yang berlebihan. Sekalipun secara formal pemerintah berhak melakukan tindakan seperlunya dalam bentuk represi dan coersive, namun pemerintah juga membutuhkan legitimasi untuk memelihara keseimbangan sebagai suatu relasi kekuasaan.  Hal ini untuk menegaskan bahwa pemerintah tidak saja berkaitan dengan kekuasaan secara de jure, tetapi juga de fakto.  Secara de jure (formal, rasional-legalistik) pemerintah menghasilkan kepatuhan, secara de fakto (kharismatik, persuasi) pemerintah menghasilkan kesadaran masyarakat untuk mematuhi semua aturan yang relatif menguntungkan dirinya sendiri. Bukankah lebih efesien sekalipun kadang tak begitu efektif menggunakan cara kedua dibanding cara pertama.  Pada akhirnya semua bergantung pada pemerintah.  Jika cara kedua tak efektif, maka cara pertama dapat digunakan seperlunya untuk mengurangi ketidak-teraturan dan kekacauan dalam masyarakat. Harus disadari juga bahwa pemerintah pada dasarnya adalah salah satu produk dari ketidak-teraturan dan kekacauan dalam masyarakat. Lebih dari itu pemerintah merupakan suatu kebutuhan oleh masyarakat.

Oleh karena yang kita tekankan disini adalah gejala pemerintahan, maka keseluruhan unsur yang diharapkan mampu berdiri di atas nilai-nilai kebaikan sebagai upaya mencegah keistimewaan yang dimiliki tentu saja meluas pada unsur masyarakat dan para pemegang modal. Sebab pemerintahan (governance) disini merujuk pada tiga unsur pokok yaitu, organisasi pemerintah dengan segala keistimewaanya, masyarakat dengan kedaulatannya, serta pihak swasta dengan modalnya. Untuk selanjutnya, baik kekuasaan, kedaulatan dan modal kita sebut keistimewaan yang melekat pada masing-masing entitas.

Kini kita akan bahas tentang kelompok mayoritas yang memiliki kedaulatan sebagai unsur kedua dari gejala pemerintahan. Seterusnya para pemegang modal, sehingga mudah untuk memahami keseluruhan unsur utama yang mengkonstruksi kerangka pemerintahan yang baik.  Kelompok mayoritas disini adalah rakyat atau dalam bahasa hukum kita sebut masyarakat. Mereka, adalah kelompok yang paling berkepentingan dalam memproduk pemerintah, termasuk pemerintahan. Disini, pemerintah dapat terbentuk akibat kekacauan maupun keinginan masyarakat untuk bahagia. Pemerintah yang baik semestinya dihasilkan oleh masyarakat yang baik.  Jika menggunakan logika sederhana, individu yang baik semestinya lahir dari tetesan sperma dan ovum yang baik.  Pertemuan keduanya menghasilkan individu yang baik.  Kumpulan dari dua individu yang baik menghasilkan satu keluarga yang baik. Kumpulan dari keluarga yang baik menghasilkan satu desa (marga) yang baik (Mac Iver:1999).  Kumpulan dari desa yang baik dapat saja melahirkan kecamatan yang baik, kecamatan yang baik dapat menghasilkan kabupaten yang baik, kabupaten yang baik mendorong terbentuknya provinsi yang baik, seterusnya provinsi yang baik bisa saja membentuk negara atau pemerintah yang baik.  Jadi, pemerintahan yang baik sebenarnya dapat dilahirkan dari individu yang baik, bukan sekedar memperbaiki sistem yang baik.  Dengan menggunakan logika tersebut, maka suatu pemerintahan yang buruk dapat saja dilahirkan dari individu yang buruk.  Masyarakat yang buruk dapat menciptakan kejahatan bagi siapa saja, termasuk membentuk pemerintahannya.

Jika organisasi pemerintah memiliki keistimewaan, maka keistimewaan kelompok mayoritas terletak pada kedaulatan yang dimiliki.  Kedaulatan merupakan hak setiap individu yang tercipta sejak lahir dan merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa.  Satu diantara sekian banyak hak adalah memilih pemerintahnya untuk mencapai tujuan hidupnya dalam kerangka tujuan bersama. Pada masyarakat traditional, hak menentukan pemerintahnya seringkali tak digunakan secara efektif sehingga seluruh kedaulatan secara otomatis berpindah ke tangan pemerintah.  Disadari ataupun tidak, semakin lemah rakyat, maka semakin tinggi penguasaan kedaulatan oleh pemerintahnya.  Kedaulatan yang lemah membuat rakyat tampak kelihatan baik atau sebaliknya, tertindas diatas kebodohannya.  Pemerintah yang baik dapat melindungi kedaulatan rakyat, namun pemerintah yang buruk menjadi peluang yang berarti untuk menguasai kedaulatan rakyat, suka atau tidak. Dalam konteks ini, keistimewaan rakyat lebih karena tidak disadarinya, sehingga tak ada ancaman bagi pemerintah, kecuali sebaliknya.

Pada masyarakat modern, keistimewaan kedaulatan rakyat seringkali menjadi bargaining yang paling ampuh untuk meletakkan pemerintah dalam kerangka konsensus yang dibangun.  Pemerintah seringkali menjadi organisasi yang relatif kehilangan keistimewaannya ketika berhadapan dengan keistimewaan kedaulatan masyarakat.  Dengan menggunakan isu demokratisasi dan seluruh atributnya, maka keistimewaan masyarakat lebih dihargai dalam hampir semua keterlibatan mereka pada keseluruhan institusi.  Pada titik tertentu, keistimewaan tersebut seringkali berubah menjadi anarkhis sehingga tidak saja menghancurkan tatanan yang telah dibangun bersama, namun juga melemahkan organisasi pemerintah dengan segala keistimewaannya. Demokrasi seringkali mengubah diri menjadi mobokrasi, sebagaimana keprihatinan Socrates dan Aristoteles. Dalam kaitan inilah perlunya kelompok mayoritas tersebut dibangun dengan meletakkan nilai-nilai kebaikan universal guna menghasilkan pemerintahan yang baik. Jika masyarakat membutuhkan pemerintahan yang baik, maka simboliknya perlu membentuk tatanan masyarakat yang baik, sebab darisanalah cikal-bakal terbentuknya pemerintahan yang baik.

Lalu, dimana kedudukan para pemegang modal sebagai unsur ketiga dalam konsepsi pemerintahan yang baik. Lebih lanjut kita akan menggunakan istilah sumber daya dibanding istilah modal untuk memperluas pemaknaan.  Jika keistimewaan organisasi pemerintah terletak pada penggunaan kekuasaan yang sedikit banyak bersifat sah (authority,formal,legalistik), keistimewaan rakyat terletak pada kedaulatan sebagai sumber dalam memproduk pemerintahan, maka keistimewaan para pemegang modal terletak pada penggunaan sumber daya diantara kepentingan kelompok mayoritas dan organisasi pemerintah.  Pada masyarakat traditional, awalnya, para pemilik modal merupakan kelompok minoritas yang memiliki diskresi turun temurun maupun akibat anugerah dari raja untuk mengelola sumber daya tertentu sebagai bentuk kompensasi dalam perang.  Para raja kecil maupun bangsawan memiliki modal yang memungkinkan mereka dapat mengendalikan sumber daya di tengah masyarakat.  Dalam masyarakat modern, para pengendali sumber daya adalah kelompok sosial yang memiliki modal dalam menentukan sedikit banyak arah pergerakan pemerintahan.  Seringkali mereka duduk sebagai rulling class dalam asosiasi strategis termasuk partai politik hingga menjadi pemerintah yang sah. Dengan keistimewaan modal, para pengusaha seringkali menjadi tumpuan dalam pergerakan ekonomi masyarakat. Organisasi pemerintah lewat keistimewaan kekuasaanlah yang mampu mengendalikan para pemegang modal untuk mendistribusikan sumber daya yang dimiliki secara adil. Tanpa itu, maka para pemegang modal dapat menggunakan keistimewaannya untuk maksud yang buruk seperti penggunaan modal dalam mengendalikan keistimewaan organisasi pemerintahan, termasuk membeli keistimewaan kedaulatan pada masyarakat bagi kepentingan tertentu. Dalam hubungan inilah diperlukan nilai-nilai kebaikan universal sehingga keistimewaan para pemegang modal dapat dikendalikan sebagaimana pembatasan keistimewaan yang dimiliki oleh organisasi pemerintah dan kedaulatan masyarakat.


[1] Government dalam hal ini merujuk pada istilah pemerintah dalam arti sempit.  Governance sendiri dimaknai pemerintahan dalam arti luas. Suatu konsep yang mencoba membedakan diri dari konsep politik secara umum.  Meskipun demikian, diakui bahwa konsep pemerintahan merupakan gejala dalam konsep kekuasaan sebagaimana banyak dibahas oleh Aristoteles, Socrates, Locke, Machiavelli, Montesqueu, Roessueue, Imanuel Kant, Max Weber, Smith, Parsons, Habermas, Nietzche, Arendt Lijhpart, Friedman, Siella, Woods, Yulk.  Dalam konteks lokal lihat juga bahasan Miriam Budiardjo, Ramlan Surbakti, Haryanto, Alfan Alfian, Arbi Sanit atau Affan Gafar. Konsep Pemerintahan sendiri yang sangat terbatas dapat dilihat pada Ilmu Pemerintahan (terj. Hogerwef,2000), atau kajian lokal Kybernology (Jilid 1-9) oleh Ndraha.  Pandangan lain dapat dilihat pada Rasyid (Makna Pemerintahan,1998), Hamdi (Bunga Rampai Pemerintahan,2001), Kencana (Ilmu Pemerintahan, 2005) atau Labolo (Memahami Ilmu Pemerintahan,2006).

[2] Public goods adalah konsep yang banyak dipakai secara teknis untuk membedakan kepentingan sosial dan privat.  Konsep ini lebih identik dengan commons good, sebagaimana diutarakan oleh Surbakti (Memahamai Ilmu Politik,2010), atau dalam pandangan Aristoteles adalah cita-cita bagi kebaikan bersama atau kemaslahatan banyak orang, (Hidayat, 2005).

[3] Menurut Alfian, legitimasi kosmokrasi adalah legitimasi tambahan selain legitimasi religi, elit dan demokrasi sebagaimana dijelaskan Frans Magnis Suseno, (1999) dalam Etika Politik, PrinsipPrinsip Kewarganegaraan Lihat juga Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, Jakarta,PT.Raja Grafindo,2010:222. Konsep ini mengingatkan kita pada konsep kosmologi oleh Hidayat (2005) yang merujuk pada ketertiban alam sebagai suatu kosmos (keindahan, ketertiban). Kosmopolitan, sering iidentikkan dengan wilayah atau kota yang tertib, indah penuh keteraturan. Dalam kelompok feminisme istilah ini diserap menjadi keindahan yang dieksplorasi pada manusia (kosmetika).

[4] Konsep kekuasaan secara de fakto dan de jure diperkenalkan secara kausalitas dan fungsional oleh Peters (1967) dalam Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial, Adam Kuper, 2000:53-54, jilid 2, Jakarta, terjemahan PT.Raja Grafindo Persada.  Lihat juga Robert A.Dahl, 2010:222 dalam A.Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, Jakarta,Kompas Gramedia.



Pengusaha punya modal, penguasa punya otoritas, rakyat punya kedaulatan.  Para pengusaha menggunakan modal untuk memobilisasi sumber daya agar memberi keuntungan sebanyak-banyaknya.  Jangan heran kalau para pengusaha berprinsip ekonomis, yaitu bagaimana mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan modal yang sekecil-kecilnya.  Saking ekonomisnya, maka kemenangan dalam setiap tender merupakan jalan bagi upaya meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Kalau mereka berani menghamburkan banyak modal buat panitia lelang plus suap sana-sini, maka tak ada jaminan jalan yang diperbaiki semakin berkualitas, atau bangunan sekolah semakin kokoh.  Saya yakin malah sebaliknya.  Syukurlah kalau masih ada pengusaha jujur yang kebetulan ikut tender.  Tapi kata teman saya, itu ada namun seribu satu. Tak ada penguasaha yang mau rugi, minimal pulang pokok. Itulah mengapa setiap tahun setiap pemborong hanya mengerjakan projek itu-itu aja, sebab sengaja dibuat tak berkualitas supaya bisa di rehab atau diprojekkan kembali. Apalagi kalau penguasa tutup mata, alias tau sama tau. Maklum saja, terkadang penguasa mengendalikan banyak juga usaha lewat tangan orang lain seperti anak, menantu, saudara, ponakan atau istri. Ini sudah rahasia umum. Semakin umum semakin lazim, dan semakin lazim maka semakin dianggap biasa. Kalau sudah dianggap biasa, maka sesuatu yang buruk sama saja sudah dianggap baik. Jangan-jangan kotoran sapi di depan mata boleh jadi kita anggap sebagai makanan lezat. Yang lucu kalau pemerintah daerah lebih banyak membuang APBD pada pengusaha kere yang dikembangbiakkan sebagai politik balas budi.  Sementara pengusaha kakap dari luar yang justru membawa modal besar ke daerah dipersulit.  Lihat saja fakta hari ini, para pengusaha domestik yang doyan menggorogoti APBD dalam perebutan projek dipermudah, bahkan dimabukkan.

Cobalah tengok pemerintah daerah lain yang telah maju dan berkembang, mereka justru mempermudah pengusaha kelas kakap seperti pembebasan tanah dan izin usaha. Bahkan Pemda berani memberikan insentif supaya modal mereka cepat terinvestasi dalam jangka panjang.  Bukankah ketika modal mereka masuk pemerintah daerah dan rakyat sendiri yang akan memperoleh manfaatnya dalam jangka panjang? Inilah makna otonomi kalau pemerintah daerah mau merenung sejenak.  Mengapa selama ini pemerintah daerah bergantung penuh pada pemerintah pusat lewat DAU, DAK dan Dana Perimbangan? Jawabannya jelas, pemerintah daerah miskin, tak punya sumber daya yang dapat dikelola. Praktisnya, pemerintah daerah sebenarnya tak mampu alias gagal berotonomi. Maka jangan heran kalau bargaining position mereka lemah terhadap pusat. PAD mereka bahkan tak sanggup untuk membiayai lima puluh orang pegawai eselon tiga. Mungkin benar sindiran kawan saya, sudah daerahnya miskin, jauh dari kontrol pemerintah pusat, tak punya sumber daya alam yang memadai, suka ngambek (maraju), penguasanya marah-marah lagi. Mending ke laut aje.  Kelihatan jelas bahwa penguasa di daerah tak punya harga diri dihadapan 497 kabupaten/kota plus 33 provinsi.  Kini, kalau daerah anda memiliki daya tarik bagi para investor kelas kakap semisal gas dan minyak bumi, maka cobalah bersikap bijaksana agar mereka betah membuka usaha, agar pemerintah daerah memperoleh tambahan PAD yang syukur-syukur melampaui dana alokasi umum. Lebih dari itu, tentu saja akan memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kepentingan masyarakat.  Begitu para pengusaha kelas kakap tadi masuk, saya optimis masyarakat akan dengan sendirinya menikmati manfaatnya. Minimal rekrutmen tenaga kerja. Tinggal bagaimana pemerintah daerah menyiapkan regulasi bagi kemaslahatan seluruh stakeholder yang terlibat. Contoh praktis ketika sebuah lahan dibebaskan untuk maksud pembukaan jalan tol, maka dengan sendirinya nilai jual objek pajak (NJOP) disekitar jalan tersebut akan naik secara otomatis mengikuti nilai dan kegunaannya. Untuk apa pemerintah daerah harus repot menaikkan sana-sini, bukankah secara otomatis nilai jualnya akan meningkat?  Kita kuatir kalau sampai para pengusaha kelas kakap tadi pergi dengan patah hati, bahkan buru-buru memindahkan investasinya ke daerah lain. Jangan berharap keberuntungan akan datang dua kali, bisa jadi pemda hanya gigit jari. Para pengusaha sebenarnya tak banyak permintaan, sepengetahuan saya mereka hanya perlu kejelasan dari para penguasa tentang jaminan keamanan berusaha, kenyamanan beroperasi, prosedur yang tak berbelit-belit, batasan waktu yang jelas bukan mengulur-ulur hingga membengkakkan biaya operasional, dan yang paling penting berapa kepastian investasi yang harus mereka bayar sebagai kewajiban, itu saja! Lalu, mengapa untuk keuntungan yang besar dan dengan syarat yang mudah seperti itu pemerintah daerah tak begitu merespon dengan baik? Mengapa kalau untuk urusan penguasaha kelas teri dan relatif tak punya modal justru dikembangbiakkan lewat kompetisi APBD yang tak seberapa? Jawabannya sederhana, pemerintah daerah kehilangan kecerdasan.  Saya sedikit yakin, bahwa mereka sebenarnya lebih banyak melindungi kepentingan diri dan kelompoknya dari pada kepentingan masyarakat luas dimasa akan datang.

Seperti kata Osborne dan Gaebler (1992) dalam buku best seller “Reinventing Government”, kegagalan pemerintah saat ini adalah kelemahan manajemennya, bukan pada apa yang dikerjakan pemerintah, melainkan bagaimana caranya pemerintah mengerjakannya. Disinilah akar masalahnya, ketika pemerintah tak punya keahlian mengerjakan pelayanan publik, maka yang terjadi adalah pemerintah seringkali terlalu percaya diri menjalankan pekerjaan yang tak begitu dipahaminya sehingga menguras energi dan biaya yang tak sedikit. Hasilnya dapat ditebak, in-efisiensi dan in-efektivity. Dilain pihak, pengalihan tugas pokok dan fungsinya pada pihak ketiga tanpa pengawasan yang ketat mengakibatkan tingginya resiko kebocoran APBN maupun APBD. Bagaimana peluang seperti ini bisa terjadi?

Kata Klitgaard (2000), korupsi dapat terjadi apabila keleluasaan (discretion) dan penguasaan sumber daya (monopoly) kehilangan tanggungjawab (accountability). Keleluasaan berkaitan dengan seberapa banyak kekuasaan yang diperoleh, dan dalam konteks ini Kepala Daerah memiliki kekuasaan yang relatif terbatas diberikan oleh rakyat untuk memimpin jalannya pemerintahan. Darimana kewenangan yang dimiliki? Tentu saja dari kepala pemerintahan (Presiden) sebagaimana amanah konstitusi UUD 45. Jadi, kewenangan yang dimiliki adalah kewenangan yang ditransfer dari kepala pemerintahan sebagai representasi yang dipilih langsung oleh rakyat dari sabang sampai merauke. Soal siapa yang menjalankan pemerintahan pada tingkat lokal, dia bergantung pada pemilihan umum di tingkat lokal. Dalam hal ini, rakyat lokal memberi legitimasi bagi siapapun yang terpilih memimpin daerah selama lima tahun ke depan, sedangkan kewenangan apa saja yang akan dijalankan bergantung seberapa besar serahan dan limpahan kewenangan dari kepala pemerintahan ditingkat pusat. Dengan kata lain, semakin besar kewenangan yang didistribusikan oleh pemerintah pusat maka semakin besar pula kewenangan yang dimiliki Kepala Daerah, demikian sebaliknya.

Di Indonesia, Kepala Daerah memiliki kewenangan luas sebagaimana diatur dalam UU No.32/2004 dan UU No.33/2004. Lebih jelasnya lagi dapat dilihat dalam PP 38/2007 tentang pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Bahkan, saking besarnya kewenangan yang dimiliki, pemerintah pusat tinggal mengerjakan urusan pemerintahan umum seperti pertahanan, keamanan, agama, pengadilan, kebijakan luar negeri serta urusan lain yang diatur menurut undang-undang. Sisanya, semua urusan umum pemerintahan menjadi milik pemerintah daerah. Bandingkan dengan negara lain yang pemerintah lokalnya hanya mengerjakan urusan lampu listrik, saluran mampet, air, taman dan lingkungan perumahan, bukankah pemerintah daerah di Indonesia benar-benar luar biasa.

Lalu, apa relevansinya dengan korupsi? Kewenangan yang sedemikian besar tadi mendorong Kepala Daerah cenderung melakukan monopoli, dengan alasan terbatasnya sumber daya di daerah sehingga membutuhkan intervensi hingga ke urusan katering makanan. Kekuasaan cenderung korup, demikian kata sejarawan Inggris Lord Acton. Bayangkan saja, ada kasus dimana seorang Kepala Daerah lewat kroni-kroninya memonopoli katering makanan di semua dinas, badan dan kantor. Demikian pula semua tiket perjalanan dinas, ATK melalui BUMD yang dikelola oleh sekumpulan keluarganya. Apakah sah? Sah saja kalau dilihat dari aspek hukum administrasi, sebab hampir tak ada peraturan yang dilanggar, sayangnya secara etik moral kondisi demikian terkesan mengganggu rasa keadilan publik.

Hampir menjadi rahasia umum, pembagian projek hanya diketahui dan dibagi oleh rumpun keluarga Kepala Daerah. Jangan heran jika kita melihat proses tender lelang projek dilingkungan pemerintah daerah penuh dengan tipu muslihat, bahkan terkesan mengandung premanisme . Di sejumlah daerah ada kasus dimana panitia lelang tak berkutik karena proses lelang dikelilingi oleh preman mabuk (dimabukkan) yang telah didesain sedemikian kotor untuk berbuat anarkis apabila kroni-kroninya lewat pemborong tak mendapatkan jatah lelang. Sebuah pemandangan yang menggemaskan dan kembali kemasa barbarionisme. Bagaimana mungkin pemerintahan yang dipandang kuat sebagai pelindung dan pengayom masyarakat bertekuk lutut di bawah ancaman preman mabuk? Aneh bin ajaib, tetapi faktanya ada di sejumlah daerah, tak terkecuali daerah yang jauh dari Ibukota Negara.

Parahnya, semakin jauh entitas pemerintahan dari pusat Ibukota Negara semakin tinggi resiko terjadinya penyalahgunaan wewenang. Bahkan, para pengawas dari pusat seringkali ditakut-takuti sebelum tiba di daerah yang jauh hingga seberang lautan. Kata kawan saya yang suka mengadu, kalau para pengawas tiba, SPPD mereka sudah ditandatangani sebelum menyeberang ke daerah yang sulit terjangkau baik lewat laut, darat dan udara. Kalau lewat laut mereka ucapkan trima kasih yang sedalam-dalamnya, kalau lewat darat mereka ucapkan trima kasih yang seluas-luasnya, dan kalau lewat udara mereka ucapkan trima kasih yang setinggi-tingginya sambil tentu saja membekali setiap pengawas dengan amplop. Memang mereka kadang tak tertarik terima amplop, kecuali isinya. Demikian cerita kawan saya sambil senyum bergurau. Panitia lelang di daerah sekalipun memiliki sertifikasi lelang barang dan jasa (bahkan banyak yang tak punya sertifikat sehingga tak memenuhi syarat sesuai Kepres 80) hanyalah panitia formal belaka, sebab di belakang mereka penuh dengan todongan sekian persen, termasuk tekanan terhadap konsekuensi jabatan. Maka tak heran jika panitia lelang barang dan jasa tidak lebih dari tukang ketok palu untuk menetapkan sejumlah daftar pemenang tender yang telah dimenangkan lebih awal.

Keleluasaan dan monopoli sebenarnya tak masalah, sekiranya akuntabilitasnya jelas. Sayangnya, pertanggungjawaban dalam konteks di atas terlihat sangat rendah. Para pengawas tak dapat berbuat banyak khususnya di lingkungan pemerintah daerah. Para pengawas internal seperti inspektorat menghadapi dilema buah simalakama, ditangkap bapak mati, tidak ditangkap ibu mati. Pengawas eksternal (BPK/P) hanya mampu memberi opini tanpa action plan dan output yang efektif dihadapan DPRD dan Kepala Daerah. Para pengawas politik (legislatif) terkesan tidur, karena mungkin saja hasil perselingkuhan yang tak boleh tercium publik. Satu-satunya harapan ada pada pengawas fungsional, yaitu KPK. Sayangnya, tanpa data yang lengkap dan dana yang cukup masyarakat tak punya akses ke pusat Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta. Demikian pula pada level institusi penegak hukum semisal Polisi dan Jaksa yang dipandang masyarakat tak cukup efektif membuka aib persengkokolan dimaksud, sebab setali tiga uang, seperti kasus “Bibit-Chandra” dalam lakon Tikus versus Buaya.

Akhirnya, kemana semua keadilan dapat disandarkan untuk mencegah menguatnya peluang korupsi dan monopoli oleh Kepala Daerah? Jika tatanan hukum dalam sistem sosial masyarakat mengalarni distrust, maka pengadilan jalanan dapat saja menjadi alternatif. Dan, ini tentu saja menjadi lebih runyam, sebab yang kuatlah pemegang kekuasaan, maka dimulailah kondisi homo homini lupus, manusia yang satu adalah serigala bagi yang lain. Masalahnya, bagaimana mencerahkan masyarakat lewat seluruh organisasinya sehingga tetap percaya pada tatanan hukum dan sistem sosial yang disepakati, sehingga terhindar dari pengadilan jalanan.

Kita percaya bahwa pemerintahan dengan segenap personifikasinya adalah produk masyarakat, sehingga setiap masyarakat yang memilih harus bertanggungjawab atas pilihannya, termasuk mengawasinya secara beradab, adil dan proporsional. Kita tak boleh lepas tangan membiarkan para kandidat yang terpilih melenggang kangkung setelah menguasai lahan berhektar-hektar ditengah-tengah masyarakat yang sejengkal tanahpun belum tentu punya.

 

 

Pejabat Karier Dalam Promosi Jabatan

 

Anda dan saya bisa bayangkan, bagaimana mungkin ketika kita butuh ahli bangunan buat mendirikan sebuah gedung besar tiba-tiba yang hadir seorang ahli agama. Mungkin saja bangunan selesai, tetapi nasibnya bisa jadi seperti reruntuhan bangunan di Pasar Tanah Abang yang menewaskan banyak orang. Atau sebaliknya, kita mungkin butuh seorang guru agama untuk mendidik sekelompok anak murid, tetapi yang hadir justru guru kan tau (sejenis pencak silat di kampung saya), maka alamat anak didik dapat saja melaksanakan sholat, hanya saja spirit keagamaannya pastilah dangkal, tanpa isi, seperti gelas tanpa air. Tak usahlah dihitung berapa banyak jabatan karier di daerah yang diisi oleh orang yang tak memiliki kompetensi. Kompetensi berkaitan dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman.

Berapa banyak pegawai di daerah sakit hati hanya karena merasa sekolah dibidang pemerintahan misalnya, namun dilantik menjadi Kabag TU pemadam kebakaran. Atau telah memenuhi persyaratan berkarier di lapangan selama dua tahun, memiliki izajah dan menguasai teknis pemerintahan tiba-tiba dilantik sebagai Kabag TU di Dinas Perhubungan. Kadang mereka suka memplesetkan singkatan KTU dengan kepanjangan “Kepala Batu”. Mereka seakan menghukum diri mereka sendiri. Dalam banyak kasus, mereka yang lama berkarier di jalur struktural seringkali terdepak oleh sekelompok guru SD, SMP atau SMA yang tiba-tiba di plot menjadi Lurah, Camat, Kepala Bagian, bahkan Kepala Dinas, Badan/Kantor hanya karena alasan pangkat fungsional mereka memenuhi tanpa kompetensi latar pendidikan yang memadai, apalagi pengalaman dibidang tersebut. Sekali lagi, anda dan saya bisa bayangkan betapa pemerintahan daerah sedang digerakkan oleh roda birokrasi tanpa kompetensi yang cukup. Dapat kita tebak, pelayanan tak mungkin akan efektif dan efisien, bahkan lebih banyak ongkos membiayai para birokrat yang pandir itu daripada mengharapkan output yang berkualitas sebagai harapan masyarakat. Kalau rumah sakit dikepalai oleh seorang yang tak paham apa makna sehat, sakit, obat, penyakit, perawatan, kenyamanan, pasien atau semua yang berhubungan dengan itu, maka kita sebenarnya sedang mengantar handai taulan kita atau kita sendiri yang sedang sakit ke rumah kematian, bukan rumah sakit yang sesungguhnya.

Kalau Dinas Pendidikan dipimpin oleh orang yang tak paham makna pendidikan, guru, siswa, kelas, kurikulum, kompetensi, mata ajar, didaktik, metodik, penelitian, ilmu pengetahuan, perpustakaan, teknologi IT atau semua hal yang berkaitan dengan itu, maka kita sedang memasukkan anak-anak kita pada sebuah ruang penjara, dan bukan ruang kelas yang sebenarnya. Kalau kita salah menempatkan pejabat di Dinas Pekerjaan
Umum, maka kita bukan mencarikan orang pekerjaan, tetapi sedang mengembangkan peternakan pengangguran dalam lima tahun ke depan. Kalau kita salah menempatkan orang dalam jabatan Kepala Badan Kepegawaian Daerah, maka kita sedang mendorong
seseorang untuk mengembangkan nepotisme dan kolusi bagi masa depan keluarganya buat jadi pegawai negeri. Semenjak otonomi daerah, jabatan karier dalam struktur organisasi pemerintahan daerah seperti kancah partai politik, siapa yang paling depan menjadi tim sukses, maka merekalah jajaran terdepan yang sudah pasti akan dilantik, bahkan sesuai bargaining position. Maka jangan heran kalau pelantikan dilaksanakan, banyak pegawai yang stres berat bahkan pada sejumlah daerah beberapa pegawai pingsan di tempat karena sehari semalam sibuk mengurus kenduri dan jas safari tiba-tiba esoknya tidak jadi dilantik hanya karena namanya hilang dalam daftar beberapa menit sebelum pelantikan. Ada bahkan sanak keluarganya “mengamuk” di tempat pelantikan. Jabatan karier di daerah seperti jaminan bagi masa depan seorang pegawai, apakah hidup terhormat atau menjadi “kacung” hingga masa pensiun. Di daerah saya, menjadi seorang birokrat, apalagi menduduki sebuah jabatan merupakan suatu kehormatan yang tidak saja dapat meningkatkan harga diri keluarga, tetapi juga peningkatan kesejahteraan. Indikasinya, jabatan seseorang seringkali berbanding lures dengan rumah yang sedang dibangun, semakin lama dan tinggi jabatan yang emban, semakin banyak rumah, tanah dan fasilitas lain yang dapat ditingkatkan. Saya tidak ingin mengatakan itu hasil korupsi, tetapi rasanya menjadi birokrat di daerah memiliki kecenderungan untuk menyamakan status dengan harta yang melimpah. Sebuah gejala yang secara umum sedang trend dewasa ini. Padahal, berulang-ulang kali saya katakan pada sebagian keluarga saya yang ingin menjadi PNS agar jangan berharap menjadi orang kaya jika ingin menjadi pegawai negeri, bahkan dalam suatu kesempatan teman saya suka bercanda, PNS itu kepanjangan dari Pegawai Nestapa lho mas. Kalau ingin kaya, setelah sarjana jadilah seorang pengusaha, carilah rumput laut sebanyak‑banyaknya, kembangkan lahan ikan bandeng, ikan asin, kepiting, udang atau lobster, bukalah kebun kopi, karet, cokelat, kelapa, kayu jati atau apa saja yang laku dijual di pasar dalam jumlah besar. Saya yakin, anda tinggal menunggu waktu buat beli rumah mewah, mobil mewah, melamar dua istri muda yang cantik, naik haji serta tak lama lagi pasti jadi anggota DPRD yang terhormat. Kalau sudah begitu, saya sarankan cari peluang buat jadi Bupati/ Walikota dengan menggunakan sumber daya yang ada.

Pegawai negeri sipil/militer direkrut dengan aturan dan mekanisme yang jelas, karena itu menganut merit system, sebuah sistem rekruitmen dan promosi dengan dasar penilaian kinerja, prestasi, disiplin, kepangkatan, pengalaman, kompetensi, pendidikan dan hasil penilaian yang memadai oleh sebuah tim yang disebut Baperjakat. Kalau ini konsisten dilaksanakan, maka akan jelas dalam setiap tahun siapa pegawai yang telah memenuhi aspek di atas untuk dipromosikan, bukan like and dislike. Kenyataan sebaliknya, mereka yang tak memperlihatkan prestasi, kinerja, disiplin, pengalaman maupun kepangkatan, asal punya akses dan IP tinggi (Indeks Pendekatan) pada pemegang kekuasaan dilantik pada jabatan prestisius.

Selain mengganggu rasa keadilan pegawai lain, juga menurunkan semangat untuk berprestasi. Faktanya, birokrasi hanya berisi sekelompok orang pandai menjilat serta tak berkualitas. Itulah mengapa organisasi sekelas pemerintah daerah setiap lima tahun tak memperlihatkan output (hasil), outcomes (manfaat), benefit (keuntungan) dan dampak positif. Lalu, kemana mereka yang pandai, berpengalaman, disiplin dan berprestasi? Mereka kadangkala menjadi penonton yang sabar, menunggu perubahan nasib sekalipun sangat memenuhi standar. Di sebagian daerah, mereka yang kreatif membuka lapangan kerja di luar jam kerja, daripada menjadi provokator sambil berharap pada rezim berikutnya yang mungkin akan membawa perubahan kearah yang lebih baik.

Kalau anda mendapati di suatu daerah rakyat tak sudi lagi membayar pajak, membangkang terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintahnya, tak peduli dengan aktivitas pemerintahan, bahkan sensitif terhadap semua pendekatan yang dilakukan, maka pemerintah yang baik seharusnya paham bahwa terdapat masalah krusial yang selama ini mendekam di tengah-tengah masyarakat.  Sikap apatis yang diperlihatkan sebenarnya adalah pesan positif (early warning) sebelum terjadi amuk massa sebagai ekspresi ketidakpuasan yang paling esktrem.  Pemerintah yang buruk seringkali menilai pembangkangan sipil sebagai ancaman yang mesti ditiadakan. Satu-satunya pilihan menciptakan kepatuhan sipil adalah dengan cara menekan lewat berbagai bentuk kekerasan.  Maka jangan salahkan kalau kekerasan pemerintah selama ini menular secara endemik pada komunitas masyarakat.  Pemerintah seringkali menjadi contoh pelaku kekerasan yang paling konkrit.  Perilaku diam rakyat adalah simbol dari pesan yang ingin disampaikan. Pesan simbolik demikian semestinya diterjemahkan kedalam bahasa mereka tentang apa kemauan yang selama ini mereka inginkan, bukankah pemerintah dipilih dengan maksud menjalankan amanah mereka, bukan sekedar melaksanakan aturan. Saya pikir, kalau pemerintah sekedar melaksanakan aturan tanpa memahami keinginan nyata, maka pemerintah sesungguhnya telah kehilangan hati nuraninya.  Pemerintah bukan robot yang dapat di kontrol semata-mata lewat regulasi secara ketat. Pemerintah membutuhkan kearifan atau kebijaksanaan sesuai karakter lokal supaya mampu memahami kemauan masyarakat.  Disinilah makna pemerintahan, dimana gejala sosial tak melulu diselesaikan lewat aturan yang kadang tak sesuai dengan karakteristik lokal.  Dibutuhkan kearifan lokal sejauh menyangkut kepentingan orang banyak tanpa berbenturan dengan kebijakan pemerintah.  Apakah bisa ? Mengapa tidak? Hanya saja kita membutuhkan kepemimpinan yang berpandangan luas, penuh wawasan, berpengalaman, berkarakter, negawaran serta berorientasi kebawah. Lihat saja kasus di beberapa daerah di Indonesia dewasa ini, pemerintah daerah seringkali menutup mata dan telinga terhadap keinginan masyarakat.  Bahkan, untuk menjawab pertanyaan masyarakat, respon dalam bentuk statement paling enteng adalah mengalihkan persoalan sebagai tanggungjawab pemerintah pusat.  Masyarakat yang bodoh dibuat frustasi, padahal tanpa sadar mereka telah dibohongi, sebab lewat otonomi sebagian besar kewenangan pemerintah telah berpindah ke daerah.  Konsekuensinya, pemerintah daerah semestinya paham apa yang mesti dilakukan dengan kewenangan yang dimiliki untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat.  Cara lain melempar tanggungjawab adalah dengan menekan kelompok-kelompok masyarakat supaya muncul rasa takut yang berlebihan hingga tak berani menyampaikan aspirasi.  Perilaku otoriter pemerintah daerah demikian menunjukkan buruknya pengetahuan tentang pemerintahan, bahkan sebuah cara memerintah yang tak populer lagi sejak kejatuhan rezim Soeharto. Parahnya, dibeberapa daerah hal semacam ini masih dapat kita temukan, seperti sebuah kerajaan kecil di tengah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Marah pada rakyat, sama artinya menutupi kebodohan pemerintah untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, sebab tugas pemerintah adalah menyelesaikan masalah, bukan menjadi sumber masalah. Benci pada rakyat sama dengan membenci demokrasi. Tinggal membedah mana aspirasi rakyat yang masih berbentuk sampah, dan mana aspirasi positif yang sepatutnya dapat di telan mentah-mentah kalau perlu. Pada saat yang sama, para penguasa di daerah seringkali seringkali mempertontonkan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan kepentingan politik praktis. Ini melukai hati nurani rakyat banyak. Contoh nyata adalah penggunaan kenderaan dinas untuk kepentingan pribadi dan keluarga secara telanjang, rekayasa tender yang menguntungkan kelompoknya, pencopotan para pejabat birokrasi dari eselon puncak hingga bawahan yang tak jelas dosa dan kesalahannya, mobilisasi pendukung di jajaran birokrasi untuk memuluskan kemenangan dalam rangka Pilkada, bahkan penggunaan kekerasan latent untuk menekan aspirasi kelompok masyarakat yang di pandang sebagai ancaman. Para penguasa di daerah seperti kehilangan akal dan rasa malu, bahkan jauh dari etika pemerintahan.  Mereka tak berpengalaman mengelola dinamika demokrasi.  Akibatnya, cara-cara cut off dipandang lebih efektif daripada melakukan pembinaan pada bawahan. Semua tindakan terkesan politis dalam rangka melindungi kepentingan penguasa, bukan untuk kepentingan masyarakat setempat.  Disisi lain, media massa lokal sebagai bagian dari civil society yang berfungsi mengontrol penguasa dan menyampaikan kepentingan masyarakat masih banyak yang bersikap diskriminatif.  Tengok saja bagaimana kasus-kasus yang terjadi di daerah, pemberitaannya sangat bergantung pada seberapa besar subsidi yang diterima.  Kalau kelompok masyarakat yang bersikap destruktif dan marah, beritanya menjadi headline selembar halaman penuh, tapi cobalah tengok kalau penguasa di daerah yang bersikap arogan, destruktif dan marah karena lalai dalam melindungi kepentingan masyarakat seperti kebakaran pasar, jalanan hancur, tersangka melarikan diri dari penjara, rumah sakit kekurangan oksigen, koruptor lepas, sebagian media massa lokal tiarap. Media massa lokal seakan kehilangan semangat artikulasinya di depan publik.  Kalau sudah demikian, penguasa di daerah yang jauh dari kontrol pemerintah pusat semakin bersikap otoriter, koruptif, nepotis dan kolutif, sebab pengawasan lembaga-lembaga sosial, perguruan tinggi dan media massa lokal tak berfungsi sama sekali. Padahal, kepada mereka kita berharap lebih netral dan kritis untuk mengawal demokratisasi di tingkat lokal. Bukankah ini merupakan salah satu makna penyelenggaraan otonomi daerah?

Apakah budaya penting yang mesti diajarkan pada generasi kita dewasa ini?  Bergerak dari kondisi bangsa yang sedang carut marut saat ini, saya ingin menekankan perlunya inspiring dari suatu gagasan sederhana untuk membentuk karakter generasi lokal guna membentuk karakter generasi secara nasional sebagai satu identitas bangsa. Hemat saya kita mulai saja dari kampung halaman Kabupaten Banggai, termasuk Banggai Kepulauan yang sama kita cintai. Gagasan tersebut adalah suatu strategi penanaman nilai (budaya) yang dapat dioperasionalisasikan dalam wujud visi dan misi bagi siapapun yang akan terpilih sebagai kepala daerah.  Ide tersebut adalah suatu upaya penanaman nilai sehingga menjadi kebiasaan positif untuk meningkatkan kualitas generasi muda agar survive dalam setiap tantangan dimanapun ia berada.  Pertama, penanaman nilai membaca (reading). Kita mungkin tidak kekurangan buku, sebab perpustakaan ada dimana-mana, walau isinya tak pernah bertambah.  Kita juga belum kekurangan guru sama sekali, sebab sekalipun guru bahasa inggris di sekolah saya minus, tetapi masih ada satu-dua guru honorer yang bersedia berjibaku dengan bayaran di bawah garis upah minimum regional (UMR).  Yang jarang pada generasi kita adalah gemar membaca apa saja.  Seingat saya, karena terbatasnya buku tempo dulu, maka buku di perpustakaan SD, SMP dan SMA di sekolah, saya hafal betul judulnya, pengarangnya, dimana letaknya dan relatif tau apa isinya. Saya senang membaca apa saja, mulai dari buku pelajaran di sekolah, koran, novel, kamus, majalah, jurnal hingga buku yang bahkan dilarang oleh guru jaman itu.  Semakin dilarang semakin keras keinginan saya untuk mencari tau apa isi buku itu. Sampai sekarang saya masih suka mengirim buku buat sejumlah guru di kampung.  Saya sangat terinspirasi ketika tinggal tiga bulan di India, kebiasaan membaca membuat mereka lebih produktif di samping Jepang, China, Amerika dan Eropa.  Malaysia menerapkan semua itu sejak generasi mudanya tumbuh di usia 7 tahun.  Pemerintah menyiapkan fasilitas perpustakaan berstandar dimana-mana, termasuk area hospot agar generasi mudanya dapat mengakses informasi kapan saja dan dimana saja. Bahkan kalau anda berkunjung sampai ke pelosok desa di Hyderabad India, kita bisa melihat pusat-pusat informasi untuk masyarakat miskin. Jangan heran kalau seorang petani kelor dan popoki (terong) disana tak bisa dibohongi padola (tengkulak), sebab sebelum hasil pertanian di angkut ke pasar induk mereka sudah tau berapa harga pokoknya.  Darimana informasi itu? Tentu saja dari teknologi informasi dipedesaan. Sebuah strategi pemberdayaan masyarakat yang ril. Bandingkan dengan kita,  dapatkah kita menemukan area hospot untuk internetan di lingkungan perkantoran Pemda, DPRD, atau kantor pemerintah lainnya? Syukur-syukur kalau generasi muda kita dapat mengakses e-library lewat warnet di pusat perkotaan.  Tugas pemerintah sebenarnya adalah mendekatkan informasi tersebut agar masyarakat cerdas serta mampu berkompetisi dimana saja.  Tugas ini sesuai dengan perintah Tuhan dalam Al-quran, yaitu iqro (bacalah).  Lalu, mengapa pemerintah malas melaksanakan perintah Tuhan hanya untuk memfasilitasi masyarakat membaca? Kedua, membudayakan agar generasi kita suka menulis (writing). Menulis mengajarkan pada kita suatu cara untuk bertanggungjawab serta mampu meletakkan sejarah sehingga dapat dibaca, dipelajari, dimaknai serta dicontoh oleh generasi selanjutnya.  Mengapa orang suka menulis biografi kepemimpinan kepala daerah? Supaya kita dapat memaknai dan mencontoh kepemimpinan positif dimasa lalu.  Mereka yang suka membaca biasanya menuangkan gagasan baru dalam bentuk tulisan.  Salah satu kemajuan Islam karena di topang oleh hasil karya tulis para pemikir Islam.  Konon laut hitam di timur tengah adalah sisa abu pembakaran buku hasil karya tulis para pemikir Islam.  Bahkan, pemikir kaliber sekelas Aristoteles, Socrates dan Plato banyak berkiblat dari hasil karya para pemikir Islam seperti Ibnu Sina.  Generasi muda mutlak diajarkan menulis, supaya mereka dapat menggambarkan kekuatan dan kelemahan dirinya, lingkungannya, daerahnya, bahkan bangsa sendiri.  Saya suka miris kalau membaca sejarah pemerintahan di Sulsel, sebab hampir semua perpustakaan lokal dan nasional mudah mendapatkan referensi kerajaan Gowa, Tallo dan Bone. Jangan tanya soal heroiknya kepemimpinan Sultan Hasanuddin, semua buku pasti menulis tentang sepak terjang si ayam jago dari timur.  Tapi cobalah tanya generasi muda kita pernahkah mereka membaca buku tentang sejarah Banggai dan Banggai Kepulauan? Berapa banyak buku tersebut di cetak? Dimana disimpan? Adakah tersimpan dan mudah diperoleh di setiap sekolah, kantor pemerintah dan perpustakaan? Apakah kita paham asal-usul suku asli Banggai dan Banggai Kepulauan? Dari mana suku Saluan, Balantak dan Banggai pertama kali ada seperti cerita Maha Karya I Laga Ligo di Sulawesi Selatan? Atau bagaimana asimilasi suku Bajo, Gorontalo, Bugis dan Jawa melengkapi kebhinekaan di kampung kita? Selain kurangnya referensi, kebutaan terhadap sejarah terkadang menciptakan keraguan tentang siapa diri kita sebenarnya.  Saya menaruh kira, konflik horisontal para kandidat raja di daerah-daerah kemungkinan terjadi akibat distorsi sejarah dimana terdapat ketidakpastian silsilah raja oleh para penulis sejarah.  Kita tidak tau pasti mana raja dan mana hulubalang.  Jangan-jangan raja jadi hulubalang, hulubalang malah jadi raja benaran.  Maka tak perlu geli kalau banyak orang mengaku raja dimana-mana. Ketiga, menumbuhkan kegemaran generasi muda kita untuk berbicara (speaking).  Lewat bicara kita dapat mengartikulasikan semua isi bacaan dan tulisan yang telah kita serap dengan baik.  Kesukaan saya menyimak pelajaran dari guru Bahasa Indonesia di sekolah saya, karena kemampuan beliau mengkomunikasikan semua pesan  lewat simbol pembicaraan yang lugas.  Intinya, kita perlu membiasakan generasi muda agar mampu membangun komunikasi dengan baik, sehingga terjamin kualitas hubungan pada derajat yang lebih tinggi.  Sejak kecil kita perlu membiasakan agar anak kita mampu menyampaikan pesan lewat tata krama alias sopan santun.  Tanpa itu, pembicaraan sebagai instrumen komunikasi dapat berubah menjadi anarkhi.  Lihat saja, mengapa Kepala Daerah dan DPRD suka tersinggung kalau penyampai kepentingan berbicara tanpa kualitas dan sopan santun yang baik.  Demikian sebaliknya, mengapa rakyat muak dengan komunikasi yang dibangun oleh Kepala Daerah, DPRD dan aparatnya, sebab selain isi pesannya tidak jelas, kabur, remang-remang, tidak pasti, lebih dari itu pembicaranyapun tak punya kompetensi yang cukup.  Keempat, kita perlu menumbuhkan budaya untuk mendengar (hearing).  Kawan-kawan saya di legislatif sering di kritik karena kurang mendengar.  Saya yakin, dari aspek medik mereka bukan terganggu pendengaran, sebab sebelum masuk menjadi anggota dewan biasanya sudah lewat test kesehatan.  Yang saya kuatirkan kalau mereka secara psikologis memang kurang mau mendengar.  Akibatnya bukan saja apatis, juga autis. Bahkan yang jarang sholat jangan-jangan sudah ateis pula.  Kalau legislatif sudah sering mendengar keluh kesah masyarakatnya, maka giliran berikutnya Kepala Daerah juga harus banyak mendengar.  Mengapa? Karena kupingnya memang terbatas, hanya dua, ditambah wakil bupati total 4 kuping.  Kalau anggota dewan terdiri dari 25 orang, bukankah ada 50 kuping yang melakukan hearing setiap hari.  Sekarang, kalau legislatif dan Kepala Daerahnya sudah sering mendengar dan mencoba merealisasikan semua keluhan masyarakat, minimal menyalakan lampu listrik sepanjang pertandingan piala dunia, kini giliran kita sebagai rakyat harus patuh mendengar apa pesan mereka untuk dilaksanakan.  Kalau budaya mendengar generasi muda kita sudah kian pudar, maka nasehat orang tua tak akan di gubris, bahkan diludahi.  Jika demukian, bukankah pemerintah, saya dan anda sekalian tanpa sengaja sedang membiarkan terbentuknya karakter si Malin Kundang? Maka, cobalah belajar mendengar supaya kita menjadi santun, rendah hati dan tidak sombong.  Ingat, kebanyakan berita dari semua kitab suci, lebih-lebih Al-Quran, bahwa suatu masyarakat di adzab Tuhan karena tidak suka mendengar peringatanNya.

Seorang sahabat saya yang kecanduan sepak bola sejak Timnas Indonesia mengalahkan Philiphina bertanya sambil bergurau, apakah kandidat kepala daerah kedepan tidak dapat direkrut sebagaimana Timnas melakukan naturalisasi pada Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales. Naturalisasi yang dimaksud kawan saya bukan merekrut warga asing supaya jadi kepala daerah.  Yang dia maksud adalah naturalisasi dalam pemilihan kepala daerah, dimana kandidat kepala daerah bukan hanya berasal dari putra asli daerah, tetapi juga berasal dari luar daerah di Indonesia. Naturalisasi dalam pemahaman kawan saya bukanlah istilah naturalisasi sejatinya dalam kerangka upaya peralihan kewarganegaraan. Naturalisasi dalam konteks ini adalah penerimaan sosok warga daerah lain sebagai pemimpin bagi komunitas lokal dimana saja dalam kerangka NKRI. Tujuannya untuk mewujudkan keindonesiaan yang sesungguhnya, jauh dari sekat perbedaan hanya karena alasan putra asli daerah.  Kawan saya sepertinya sedikit pesimis melihat ketidakseriusan kepala daerah yang nota bene putra asli dalam mengelola pemerintahan di daerahnya sendiri. Saya yakin beliau sedang demam sepak bola dalam ajang AFF 2010 dan bangga dengan dua pemain hasil naturalisasi yang membela tim Indonesia. Sayapun bangga, bahkan kalau anda sempat nonton langsung di Senayan, saya yakin semangat nasionalisme anda akan bangkit ketika lagu Indonesia Raya mulai dikumandangkan. Kembali ke pertanyaan kawan saya, saya katakan bahwa itu bukan mustahil, dulu di saat orde baru berkuasa, hampir semua kepala daerah dari Gubernur, Bupati dan Walikota berasal dari luar daerah.  Syaratnya hanya dua, yaitu berasal dari kalangan militer dan disetujui oleh Soeharto.  Sekalipun DPRD memiliki hak untuk memilih, namun semua hasil akhir keputusan diserahkan pada Presiden secara hirarkhis.  Kelemahannya, daerah tak memiliki kekuatan untuk menentukan siapa kepala daerah yang pantas, kecuali bergantung pada persetujuan Presiden.  Kelebihannya, semua kepala daerah yang dinaturalisasikan secara masif oleh rezim berkuasa, mau atau tidak harus bekerja keras supaya mampu menampilkan kinerja positif sebelum diganti oleh kandidat lain yang lebih bagus.  Itulah mengapa kita tidak mempersoalkan siapapun yang menjadi kepala daerah waktu itu, apakah dia orang Bugis atau Jawa. Apalagi kalau mereka sudah kawin-mawin dan beranak pinak di daerah masing-masing, tentu saja akseptabilitas masyarakat jauh lebih mungkin untuk menerima.

Seorang kepala daerah yang ditetapkan sebagai Gubernur, Bupati dan Walikota dimasa itu akan memperlihatkan kinerjanya sebaik mungkin paling tidak karena alasan, pertama, mereka merasa bukan putra asli daerah, sehingga diperlukan tindakan yang benar-benar serius untuk memperlihatkan keberpihakan yang nyata pada kepentingan rakyat di daerah tersebut.  Ini untuk meyakinkan bahwa sekalipun mereka bukan putra asli daerah, namun kenyataannya mereka juga bisa pro-daerah. Kedua, karena mereka merasa diangkat oleh pimpinan, maka sepatutnya mereka bekerja dengan baik agar tidak dinilai gagal oleh pemberi mandat. Dalam beberapa kasus bahkan tampak berlebihan lewat banyaknya upeti kepala daerah pada rezim berkuasa di pusat pemerintahan secara berjenjang. Ketiga, karena mereka berasal dari korp militer, maka semangat untuk mengabdi jauh lebih tinggi dibanding seseorang yang direkrut dari kalangan sipil. Hasilnya, selain stabilitas politik dan pemerintahan terjaga untuk kepentingan rezim berkuasa, setiap daerah relatif berkembang menurut kemampuan kepala daerah masing-masing. Sejauh itu, kita tidak mempersoalkan kinerja mereka, sebab mereka cenderung berbuat untuk kepentingan daerah sekalipun hasil naturalisasi rezim berkuasa. Lebih dari itu mereka menjadi menjadi sentral kepatuhan masyarakat sekaligus monoloyalitas bagi birokrasi.  Kini, sejak otonomi diberikan oleh pusat ke daerah, isu putra daerah mendominasi perhelatan Pilkada. Lebih-lebih Pilkada langsung.  Tak ada lagi natulisasi bagi kepala daerah jika tidak benar-benar lahir, tumbuh dan besar di daerah sendiri.  Kita pantas bersyukur di satu sisi, namun kita juga pantas merenungkan kembali apakah kepala daerah yang mengaku putra asli jauh lebih sukses mengubah wajah tanah kelahiran kita atau justru sebaliknya.  Kalau mereka sukses membawa daerah kita keatas panggung perpolitikan nasional secara positif, bahkan mampu membangun kepercayaan diri rakyat di daerahnya sehingga tidak merasa minder di tengah kemajuan dan kebanggaan daerah lain, maka inilah makna suksesnya kepemimpinan kepala daerah dalam kerangka otonomi daerah.  Kalau tidak, maka patut kiranya kita memikirkan kembali naturalisasi calon kepala daerah, supaya setiap calon pemimpin yang merasa putra asli daerah benar-benar terpicu untuk kemudian mampu membuktikan kemampuannya tanah kelahirannya sendiri.  Sekalipun banyak catatan kelam dimasa lalu, namun pengalaman rotasi kekuasaan menunjukkan bahwa kepala daerah dimasa itu relatif dapat kita terima tanpa mesti diperbincangkan habis-habisan di pojok warung di sudut-sudut kota. Seakan-akan tiada hari tanpa topik lain yang lebih menarik, kecuali mengulas tuntas kebaikan sekaligus keburukan kepala daerah. Kalau saja kita masih bisa melakukan naturalisasi seperti jaman orde baru, saya yakin mencari kepala daerah yang berkualitas tidaklah sesulit dewasa ini.  Tengok saja kandidat Gubernur dalam Pemilukada di Provinsi Bali tempo hari, tiga calon yang maju semuanya memiliki kredibilitas yang relatif tak dapat diragukan.  Ada mantan Bupati Jembrana yang mampu membawa daerahnya menjadi tolok ukur keberhasilan otonomi daerah.  Ada mantan Bupati Gianyar yang dua kali berturut-turut berhasil mengangkat harkat daerahnya lewat berbagai prestasi di masa lalu.  Terakhir, kandidat yang kemudian terpilih sebagai Gubernur Provinsi Bali, beliau adalah mantan Kapolda sekaligus berhasil memimpin berbagai tim dalam penanganan sejumlah kasus terorisme dalam skala nasional.  Seandainya dua kandidat yang kalah tersebut dapat dinaturalisasikan menjadi kepala daerah di tempat lain, saya yakin akan banyak perubahan yang dapat kita nikmati hari ini.  Minimal mereka dapat mengurangi kentalnya nepotisme dilingkungan pemerintahan daerah akibat lahirnya pemimpin dari keluarga besar di daerah tersebut. Jika kita mempersoalkan tentang asal muasal para kandidat kepala daerah, saya sarankan agar kita tidak menjadi sempit melihat setiap masalah seperti aspek militerisasi dan idiologi agama.  Kalau perkara kita phobia kepala daerah hanya karena berasal dari kalangan militer yang dapat menjadi pemimpin otoriter, bukankah hari ini banyak kepala daerah yang bahkan jauh lebih otoriter dari seorang tentara.  Kebiasaan suka marah-marah dan membentak-bentak pegawai di kantor bukanlah berita baru.  Saya sendiri tidak terlalu mempersoalkan perbedaan demikian, yang paling penting adalah bagaimana strategi mereka menciptakan kesejahteraan di daerah kita. Bahkan di daerah saya, seorang mantan kepala daerah dari militer ternyata masih mendapat dukungan untuk menjadi wakil daerah sekaligus kandidat wakil gubernur. Kalau soal perbedaan idiologi agama, saya pikir tak begitu relevan lagi untuk diperdebatkan, sebab mengirim TKW ke Hongkong yang katanya komunis ternyata jauh lebih aman dan menjanjikan dibanding mengirim TKW ke Arab Saudi yang katanya tempat turunnya wahyu dan para nabiullah.  Di negara pertama, bisa jadi para TKW pulang dengan membawa uang sebagai bentuk kesejahteraan, sedangkan di negara kedua dapat saja para TKW pulang membawa lidah dalam keadaan putus sebagai wujud penderitaan.  Kini saatnya kita lebih terbuka untuk menerima siapa saja yang mampu memimpin daerah, kalau perlu lewat naturalisasi lokal dalam pemilihan kepala daerah.

Nasib pohon mangga dan pohon kelapa di kampung saya persis nasib warga Palestina dihadapan tentara Israel.  Beresiko kalau hidup dan tumbuh sembarangan, apalagi kalau di taksir sudah tua oleh tengkulak (padola) dan malang melintang dipinggiran jalan.  Pasti di sensor layaknya film blue.  Dulu kalau musim mangga, saya suka mengendap-ngendap dini hari buat memungut buah mangga yang berjatuhan disekeliling pohon.  Pohon siapa saja, asal berbuah dan tak di jaga dengan ketat. Maklum, di kampung saya pohon mangga tumbuh liar dimana saja, ada yang bertuan, ada pula yang dianggap milik bersama. Pohon mangga yang tumbuh di hutan belantara dianggap tak bertuan, silahkan saja siapa yang duluan datang dan menemukan buah mangganya.  Di kampung saya kalau soal buah mangga mereka tak ambil pusing, sebab selain membantu membersihkan halaman kalau datang musimnya, juga mengurangi kotoran sapi yang juga tak ketinggalan ikut berkompetisi.  Saya pikir ini bukan soal mangganya, yang berkesan adalah perburuan di tengah malam buta dengan kawan-kawan yang se-ide. Siapa yang mampu membawa pulang buah mangga sebanyak-banyaknya berarti dialah yang terhebat. Kecuali itu, ada beberapa pohon mangga yang memang dijaga ketat oleh pemiliknya. Kita bilang pemiliknya sikakar (pelit).  Cirinya bisa dilihat kalau pagarnya pakai sabuk kelapa kering yang tinggi dan rapat, tiap dua jam dikontrol dengan senter, pakai tuba (ombo’) dan anjing penjaga kebun. Sebagian kawan-kawan se-angkatan saya tak peduli sekalipun ada ombo’, sebab mereka juga suka pakai penangkal sebelum berburu buah mangga. Yang parah kalau pemiliknya suka mengecat pohon mangga dengan tai sapi, alamat badan kawan saya pulang dengan bau tai sapi yang belepotan hingga ke bagian kaki, paha, perut, dada, leher, pipi.  Ada bahkan yang kemakan sedikit tai sapi.  Terpaksa mandi wajib.  Semua itu menjadi kenangan pahit sekaligus menyenangkan kalau diceritakan kembali.  Tetapi untuk apa saya bicara soal ini? Saya hanya ingin membagi keprihatinan atas nasib pohon mangga dan pohon kelapa yang gandrung diburu oleh pedagang dari pulau Bali dan Jawa.  Maklum, di pulau Bali dan Jawa pohon mangga dan kelapa sudah semakin langka.  Pohon kelapa adalah tanaman jangka panjang, sebab itu mereka malas menanam, mereka lebih mengandalkan tanaman jangka pendek seperti padi dan sayur-mayur.  Mereka tinggal dibawah lereng-lereng gunung berapi, berharap sepeninggal wedhus gembel maka tanah mereka akan menjadi subur kembali sehingga bisa ditanami dengan baik.   Di Bali, pohon mangga dan pohon kelapa sudah bisa dikira dengan jari, sebab yang tumbuh di pulau kecil itu adalah hotel, cottage, mall, pasar modern, spa dan sauna serta seribu satu macam bangunan buat hiburan yang memanjakan turis domestik dan asing.  Itulah mengapa harga sebuah mangga dan kelapa bisa lima kali lipat dibanding harga di kampung saya.  Pohon mangga dan pohon kelapa diburu oleh pedagang dari Jawa untuk dimodifikasi menjadi furniture yang natural, kuat, unik, klasik serta terkesan mahal.  Harga jual pohon mangga dan pohon kelapa di Jawa, semeter bisa mencapai lima kali harga beli di kampung saya. Itulah mengapa mereka memburu sampai ke daerah pesisir Sulawesi.  Pohon mangga berbuah berdasarkan musim, dapat tumbuh disembarang tempat dan bertahan dengan pohon yang mengakar kuat selama berpuluh-puluh tahun.  Demikian pula pohon kelapa, satu pohon yang diciptakan Tuhan dengan penuh manfaat.  Mulai dari akar, batang, daun, buah hingga pucuk mudanya hampir tak ada yang tersisa untuk digunakan.  Anda bisa menemukan hasil karya dari pohon kelapa mulai dari kursi, bangunan rumah, sapu, sendok, minuman, makanan hingga sayuran dari pohon kelapa.  Sayangnya untuk pohon kelapa yang panen setiap tiga bulan sekali itu kita harus sabar menunggu bertahun-tahun, bahkan sampai dua generasi baru bisa dipanen dengan baik.  Dikampung saya, mereka yang mengelola pohon kelapa hari ini sebagai sumber mata pencaharian pastilah generasi kedua dan ketiga dari nenek mereka yang menanam tempo hari.  Sebagian pemiliknya biasanya orang Arab dan China, sedang kelompok pribumi hanya menjadi pekerja kasar (buruh). Syukur kalau lagi panen buah kelapa, masyarakat suka kebagian kulit kelapa kering (tampurung) dan sabuk kelapa yang boleh diambil sendiri, asal daging kelapanya dikembalikan. Ini merupakan bentuk simbiosis mutualisme antara pemilik dan masyarakat sekitarnya.  Saya sadar inilah salah satu alasan mengapa jaman dulu orang tua kita jarang konflik diantara pemilik dan yang bukan pemilik.  Sekarang, kalau semua pohon mangga dan pohon kelapa tersebut anda tebang dan jual seenaknya kepada para pedagang, maka saya yakin sepuluh tahun kedepan kita akan sulit mendapatkan buah mangga dan kelapa, kecuali berharap dari belas kasihan negeri Bangkok, yaitu Mangga Bangkok dan Kelapa Bangkok.  Dulu para tengkulak yang paling pelit sekalipun hanya menaksir jumlah buah lalu memborong dengan harga rendah. Sekarang, para tengkulak tersebut bukan menaksir berapa jumlah buah mangga dan buah kelapa, tetapi yang ditaksir dan diborong adalah berapa meter tinggi pohon mangga dan pohon kelapa.  Anda dan saya bisa bayangkan, sepuluh tahun lagi anak cucu kita tak akan pernah tau bagaimana bentuk dan rasa buah mangga dodol serta mangga kuini.  Kedua pohon tersebut tinggal menjadi sejarah yang bisa dilihat di museum nasional Jakarta sebagai salah satu buah yang mengalami kepunahan. Bisa saja!

Moralitas publik figur selalu menjadi fenomena paling menarik dimanapun mereka berada. Clifford Geerts dalam Thomas Koten (2010) misalnya mengatakan bahwa mereka setidaknya diperlakukan sebagai examplary center, suatu pusat yang penuh teladan.  Kita sering meneladani public figur dari aspek pikiran, sikap maupun perbuatan.  Bagi kita sebagai masyarakat agama memiliki figur para nabi, sahabat hingga para tokoh agama sebagai figur utama dalam rujukan dialog, dasar keberimanan hingga perbuatan sehari-hari.  Tokoh besar sepanjang sejarah seperti Nabi Besar Muhammad Saw, Isa as dan Budha Gautama merupakan teladan yang tak mungkin bergeser setiap hari untuk disebut oleh penganutnya masing-masing.  Pada masyarakat intelektual seringkali mengadopsi public figur yang memiliki pengetahuan luas seperti para filosof, guru besar, para pakar, hingga siapa saja yang memiliki pengetahuan melebihi rata-rata hingga dapat dijadikan rujukan akademik pada setiap seminar. Bagi pendidik seperti saya misalnya, nama besar Plato, Aristoteles, Socrates atau Ibnu Khaldun menjadi sumber inspirasi analisis pada hampir semua induk dan cabang pengetahuan. Pada kelompok masyarakat penyuka seni hiburan musik, public figur menjadi semacam idola yang kadang histeris jika bertemu secara langsung. Segmen ABG (Anak Baru Gede) misalnya, figur semacam Ariel Peterpan, Luna Maya atau Cut Tari tentu saja menjadi sosok yang sangat mungkin di idolakan. Dalam panggung politik, elite politik seringkali menjadi public figur.  Politisi semacam Ruhut Sitompul dan Andi Mallarangeng tentu memiliki gaya yang khas dalam mengartikulasikan kepentingan sehingga memiliki tempat khusus pada masing-masing basis konstituen. Secara umum, setiap segmen sosial memiliki public figur yang selalu dipuja dan dipuji sepanjang masa.  Dalam konteks ini kita boleh menyebut mereka sebagai elite, yaitu kelompok sosial yang memiliki keunggulan, kesempurnaan atau nilai utama.  Bahkan, pada sejumlah barang mewah dan tampak sempurna disiapkan etalase sebagai tempat menarik untuk diminati, bahkan dibeli kalau perlu. Mungkin itulah mengapa dalam banyak kasus beberapa artis suka dipajang dan dibeli seperti etalase di pertokoan.  Problem kita adalah, apakah semua pikiran, sikap dan perbuatan mereka dapat dijadikan tauladan?   Ditengah masyarakat yang kompleks dewasa ini, public figur dapat menjadi pilihan buah simalakama. Bagi public figur yang menampilkan kesholehan, sekalipun tinggal menjadi catatan sejarah tentu menjadi tauladan universal bagi semua segmen sosial sejak anak-anak hingga dewasa.  Para nabi tentu saja menjadi teladan baik pikiran, sikap maupun perbuatan.  Demikian pula para pemikir dan pembaharu pada setiap jaman.  Sebaliknya, public figur yang menampilkan sedikit keunikan seringkali menjadi contoh yang bersifat temporer.  Segmen sosial anak muda misalnya, cenderung meneladani artis maupun aktor yang dekat dengan kehidupannya.  Mereka yang senang dengan Michael Jacson suka menirukan style, suara, tarian hingga model rambut.  Di Indonesia, ketika orang tua kita gandrung dengan figur Raja Dangdut sekelas Rhoma Irama, maka pakaian, gaya, rambut hingga suaranya yang penuh gelombang dan kharisma ditiru mentah-mentah, padahal suara mereka kadang cempreng dan fals.  Demikian pula gaya group band rock anak muda Chang Chutter yang fun, rambut lebat, unik dan sempit celananya.  Pendek kata, setiap orang yang ngefans akan meniru semaksimal mungkin agar mirip dengan idolanya.   Parahnya, ketika beberapa figur tersebut mempertontonkan perilaku yang kurang etis, jauh dari ketauladanan baik pikiran, sikap maupun perbuatan maka tanpa disadari sesungguhnya mereka sedang mendzolimi public yang selama ini menjadikan mereka sebagai ukuran nilai tertinggi dari berbagai aspek kehidupan.  Sadar atau tidak, semakin banyak public yang menjadikan seorang figur dewasa ini sebagai examplary center, maka semakin banyak calon korban atas distorsi moral yang dilakukan oleh figur ketika kesempurnaan atau keunggulan nilai yang selama ini mereka contohkan mengalami depresiasi dan bukan apresiasi.  Pada sisi lain, ketiadaan figur sebagai standar nilai (uswatun hasanah) dalam realitanya mendorong publik suka menyerap sosok apapun yang menyenangkan secara nyata.  Mereka yang jauh dari nilai agama, kurang tercerahkan serta berada di bawah garis kemiskinan cenderung menyenangi figur yang mampu menyenangkan walau sesaat, seperti menikmati goyangan dangdut Inul Daratista, Dewi Persik, Trio Macan, termasuk menikmati video parno yang mengganggu kestabilan moral dan emosi publik. Bagi mereka, figur para nabi teramat absurd, sedangkan figur para artis dipandang lebih realistik.  Kini, tugas kita adalah bagaimana memproduk public figur yang memiliki karakter kesholehan individu untuk menularkan kesholehan sosial sebagaimana pikiran, sikap dan tindakan kaum sholihin dimasa lalu.

Dalam tulisan terdahulu, saya mencoba membandingkan secara kualitatif  perkembangan Pulau Bajo dengan Pulau Singapura sebagai pulau yang sama-sama memiliki karakteristik yang unik.  Sekali lagi, saya tak membandingkan Pulau Bajo dengan Negara Singapura, tetapi objek bandingannya adalah pulau dengan pulau. Sama halnya dengan membicarakan Pulau Peling, Pulau Mayayap atau Pulau Keramat di gugusan laut banggai.  Lewat harian ini saya juga berterima kasih atas apresiasi dari berbagai kalangan yang tekun membaca topik diskusi pendek di rubrik ini.

Sekarang, bagaimana melihat Desa Salodik di ujung Kecamatan Luwuk?  Saya pikir objek bandingannya adalah daratan Bangkok, sebuah negara tetangga yang baru selesai dilanda konflik politik.  Apa yang menjadi core competence (sektor unggulan) negara itu? Secara umum, Bangkok hidup dengan dua sektor unggulan, yaitu sektor pertanian dan pariwisata.  Di kampung saya, sejak kecil kalau anda punya seekor ayam bangkok, maka serasa andalah orang yang paling beruntung menjadi buah bibir dimana-mana karena mampu menundukkan seluruh ayam di kampung sendiri.  Di benak kita, ayam kampung hanya untuk di makan, setidaknya melambangkan kesejahteraan, sedangkan ayam bangkok untuk bertanding, sekaligus melambangkan kekuatan.  Bahkan, ketika di depan rumah saya tumbuh sebatang pohon jambu bangkok, almarhum ayah saya suka menjaga siang malam karena bangga bisa memberi tamu atau siapa saja yang ingin mengecap rasa jambu bangkok, kendatipun bagi kami sendiri terasa kurang.  Ayah saya sangat bangga kalau bisa memetik dan memberi jambu Bangkok pada orang yang kebetulan lewat di depan rumah. Sekarang, di depan rumah saya tinggal seonggok bambu kuning dari China.  Mungkin beliau menyuruh saya agar belajar hingga ke negeri China, sebagaimana anjuran Nabi Muhammad SAW.  Saking banyaknya produk pertanian dari Bangkok, maka semua buah yang bentuknya gede (besar) pasti di klaim berasal dari Bangkok. Sebut saja satu persatu seperti pepaya bangkok dan durian bangkok.  Sektor unggulan kedua Bangkok adalah pariwisata, lihat saja turis ke Bangkok hampir sama jumlahnya dengan turis di Bali.  Selain pemandangan pantai yang indah (Puket dan Pathayya), budaya Bangkok yang khas menjadi komoditi menarik bagi turis mancanegara (cari saja menu Tom Yang).  Lalu dimana sektor unggulan Salodik?  Menurut pendapat saya relatif sama dengan Bangkok, yaitu pertanian dan pariwisata.  Salodik kaya dengan hasil pertanian jangka pendek, sebab selain berada di ketinggian juga memiliki iklim sejuk dengan sumber mata air yang jernih.  Tentu saja kita dapat menanam sayur-mayur dan buah-buahan sesuai kondisi alamnya.  Kalau saja masyarakat dan pemerintah serius menjadikan wilayah ini sebagai lahan strategis pertanian jangka pendek, maka bukan mustahil kita bisa menggeser klaim bangkok dalam 10 tahun ke depan dengan istilah Salodik.  Seperti jambu salodik, pepaya salodik, ayam salodik, durian salodik, cengkeh salodik, wortel salodik, terong salodik atau bayam salodik.  Praktis semua sayur-mayur dan buah-buahan segar dan gede (besar) pasti berasal dari salodik.  Sektor unggulan kedua Salodik adalah pariwisata.  Lihat saja betapa indahnya alam disana, sampai-sampai anak saya yang masih berumur 10 tahun tidak percaya bahwa ternyata lukisan pemandangan dengan air terjun indah yang di jual di salah satu mall Jakarta benar-benar ril ada di kampong saya, namanya Salodik.  Sayangnya, pengelolaan alamnya sebagai komoditi pariwisata yang berada strategis diantara Kecamatan Pagimana dan Luwuk belum tersentuh dengan baik.  Kepemilikan lahan di sisi sungai seharusnya dapat dikelola pemerintah dan pihak swasta.  Sekiranya ini dapat dikelola dengan maksimal, kita dapat membayangkan area tersebut minimal sama dengan pengelolaan air terjun di Bantimurung Kabupaten Maros Sulawesi Selatan.  Sungai yang jernih dari air terjun disana menghasilkan income hingga 25 persen dari total PAD Kabupaten Maros.  Jangan bilang kalau dekat bulan puasa dan musim liburan, kepadatan pengunjung tak bisa dihitung dengan jari.  Lalu, apa yang perlu dilakukan di Salodik? Jawabannya jelas, carilah investor yang tepat supaya sungai di Salodik benar-benar terurus dengan baik.  Bawa sebagian jajaran dinas pariwisata, anggota dewan yang terhormat, perguruan tinggi, pers lokal, LSM dan tokoh masyarakat di salodik (Kades, anggota BPD, Toga dan Tomas) cari waktu berkunjung ke Bantimurung Maros.  Catat dan pelajari apa yang bisa dilakukan agar kawasan tersebut dapat segera berubah dengan cepat. Musyawarahkan, lalu putuskan dengan sebaik-baiknya dalam bentuk Perda, kemudian biayai dengan teratur dalam 5 sd 10 tahun kedepan. Kemudian evaluasi hasilnya, apa yang terjadi. Kalau perlu, investasikan kereta gantung (Gondola) dari bukit keles langsung ke Salodik.  Pasti menarik dan padat pengunjung.  Daerah kita berbukit-bukit, tinggal bagaimana menatanya tanpa merusak alamnya. Kalau suatu saat anda naik Gondola dari bukit keles ke Salodik, saya yakin anda akan bangga melihat kota air luwuk dengan penuh tetesan air mata, sama ketika pengalaman saya pertama kali naik Gondola di Taman Mini Indonesia Indah, Ancol, Malaysia dan China.  Saatnya kita butuh eksplorasi dan kesadaran seluruh masyarakat untuk mendukung sektor unggulan tersebut.  Pada momentum bulan ini, hemat saya mengapa kegiatan Pramuka tidak diarahkan ke wilayah tersebut, supaya generasi muda dan masyarakat sadar akan alamnya yang amat kaya raya. Ketika saya bertugas lama di Sulawesi Selatan, hampir semua kegiatan kepramukaan dilaksanakan di sekitar lokasi Bantimurung, termasuk Jambore LKMD.  Saya baru paham, ternyata pemerintahnya sengaja menjual daerah tersebut agar menjadi sentral pariwisata kelas nasional, bahkan international.  Generasi muda kita seharusnya sadar akan alamnya, itulah mengapa semua kegiatan kepanduan sekelas Pramuka selalu dilaksanakan di Cibubur dan Jatinangor yang alamnya sangat indah.  Mengapa? Supaya mereka dapat hidup berdampingan dengan alam, menimba ilmu dari alam, berteman dengan alam, menguasai alam, tidak merusak alam, melindungi alam, mampu memanfaatkan sumber daya alam serta dapat menjaga kelestarian dan keseimbangan alam bagi kebutuhan umat manusia dari waktu ke waktu. Bandingkan kalau kegiatan Pramuka itu dilaksanakan di dekat kawasan kota modern, penuh kantor dan perumahan elit, maka kesadaran apakah yang dapat kita peroleh dari generasi muda di kemudian hari?  Dapat dipastikan, mereka buta soal alam, tak paham seluk belum alam, bahkan sebaliknya konsumeristik, serba plastik dan jauh dari karakteristik wilayahnya.  Bukankah ketika kita menilai Pramuka berprestasi bergantung pada bagaimana mereka hidup dengan memanfaatkan alam secara berimbang? Jadi, kalau masih ada anggota pramuka yang semua kebutuhannya bergantung di pasar inpres luwuk misalnya, termasuk membeli tali rafia untuk mendirikan tenda, maka dapat disimpulkan bahwa organisasi kepanduan paling bergengsi di Indonesia ini telah gagal membentuk karakter generasi mudanya.

Bayangkan saja, ongkos demokrasi kita saat ini terlalu besar. Bisa berlipat-lipat dari APBD di daerah kita. Bukan saja harga dari sisi ekonominya yang mahal, lebih dari itu harga sosial politiknya juga gede. Skarang saja, rata-rata setahun kita melaksanakan kurang lebih 103 kali Pilkada (Saefulloh:2008). Artinya, jika pakai logika tukang parkir, tiap sebulan ada kurang lebih 8 kali Pilkada, seminggu ada 2 kali Pilkada, atau boleh dibilang setiap tiga hari ada satu kali Pilkada.

Berapa ongkosnya? Menurut Wapres (2008) setiap tahun kita mengeluarkan biaya sebesar 200 Triliun untuk Pilkada. Menurut data kasar, pemilu legislatif dan presidenakan menghabiskan biaya kurang lebih 45-50 Triliun. Pemilihan Bupati/Walikota ditingkat Kabupaten/Kota menghabiskan anggaran antara 5 sd 500 Milyar. Pemilihan Gubernur ditingkat Provinsi menyedot biaya rata-rata antara 500 sd 1 Triliun. Kasus pemilihan Gubernur Jawa Timur dengan 3 putaran menghabiskan dam 830 Milyar. Sedangkan pemilihan Gubernur Jawa Tengah menghabiskan anggaran 650 Milyar. Pemilihan satu kepala desa diluar Jawa rata-rata menyedot APBD antara 5 sd 150 juta. Persoalannya bukan disitu, masalahnya apakah demokrasi telah menghasilkan pemimpin yang berkualitas sehingga mampu menunaikan amanah rakyat sekaligus mengantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih baik alias sejahtera? Faktanya, banyak sindiran yang menyakitkan telinga, produknya baru menghasilkan pemimpi, bukan pemimpin. Mereka bahkan tak meninggalkan apa-apa, kecuali hutang piutang Pemda dari satu rezim ke rezim berikutnya. Rakyatlah yang harus menyicilnya. Kata kawan saya, ada juga yang berubah, yaitu mobil dinas dan rumah dinas. Hari ini, lebih separuh APBD kita habis untuk ongkos tukang, tukang mensejahterakan rakyat, yaitu eksekutif dan legislatif.

Menurut Suwandi (2005), APBD untuk biaya tukang saja rata-rata menyedot 50%. Kalau satu putaran Pilkada menghabiskan biaya 15%, dan biaya perawatan Pemda membuang sekitar 10%, maka APBD praktis tersedot sebesar 75% untuk ongkos tukang “mensejahterakan rakyat”. Maka, buat rakyat tinggal keraknya, yaitu 25%. Kalau itu efeknya trickle down bagus,tapi kalau trickle up, maka yang kaya pastilah yang punya modal (kekuasaan dan uang). Mengapa kesejahteraan tidak muncrat ke bawah, tapi muncrat ke atas? Karena para elit pengen kembalikan modal. Minimal pengeluaran untuk ikut Caleg ditingkat Kabupaten/Kota taruhlah sebesar 50-250 juta, Caleg Provinsi antara 250-500 juta, Caleg pusat antara 500-1 Milyar. Jadi, sangat masuk akal jika tahun pertama hingga tahun kedua rata-rata para politisi pengen balik modal. Tahun ketiga idealisme baru dimunculkan, tahun keempat menabung, tahun kelima cari modal baru buat kompetisi berikutnya. Kalau asumsi ini benar, maka ke depan bangunan APBD kita pasti goyah.

Demokrasi hanyalah alat atau instrumen yang digunakan dalam sistem politik untuk menjadi kanal bagi lahirnya pemimpin yang mumpuni dalam mengemban amanah rakyat. Demokrasi bukan terminal akhir, ia hanyalah pilihan sistem diantara sistem lain yang pernah kita tinggalkan, yaitu sistem otoriter dan totaliter. Jadi, jika kita bosan dengan sistem demokrasi, maka terbuka jalan lurus untuk memilih sistem lain yang dipandang lebih akomodatif dan marketable. Kita perlu berhemat dalam membangun demokrasi. Supaya kita bisa membangun dan memberi prioritas bagi keperdingan publik. Pemilu hanyalah salah satu di antara pondasi dasar yang akan kita bangun, tetapi bukanlah satu­-satunya.

Memang, semakin tinggi sistem demokrasi yang akan kita bangun semakin rendah efisiensi, demikian sebaliknya. Kadang kita pesimis dengan pilihan sistem hari ini. Tapi kita tidak ingin melihat kebelakang, sekalipun dibelakang kita masih banyak pengalaman berharga yang patut dan tak perlu malu untuk dipetik kembali. Demokrasi bukannya tanpa kebaikan, bahkan mungkin jauh lebih terhormat jika ditimbang dengan sistem lain, sekalipun tidak sedikit memiliki kelemahan. Kalau pakai data Pak Boediono (Gubernur BI), demokrasi punya hubungan yang kuat dengan efisiensi.  Katanya, kalau income suatu negara di bawah 1500 USD, maka usia harapan hidup demokrasinya hanya 5 tahun. Antara 1500-3000 USD, usia harapan hidup demokrasinya hanya 8 tahun. 3000-5000 USD hanya 10 tahun, 5000-6000 USD hanya 15 tahun, di atas itu probabilitas usia harapan hidup demokrasinya lebih stabil seperti USA dan Inggris.

Kalau Indonesia, dengan mengambil data income perkapita tahun 2006 (purcashing power purity) sebesar 4000-4500 USD/tahun, maka kemungkinan hanya bisa survive selama 9 tahun, artinya hanya sampai tahun 2015. Mengutip prediksi sosiolog Thamrin Tomagola (2008) pada suatu seminar, kalau Indonesia pecah pada tahun 2015, kemungkinan pecah menjadi 17 negara, yaitu Negara Jawa, Negara Sunda dan Negara Banten. 14 negara lain disumbangkan dari wilayah Indonesia Timur. Tentu saja, tidak menutup kemungkinan lahirnya negara sekelas Sulawesi Timur misalnya!