Mempersoalkan etika anggota dewan menurut saya penting. Penting, sebab mereka menjadi representasi masyarakat yang barangkali lebih beretika.  Etika sendiri adalah pagar atau pembatas perilaku yang tak selamanya diatur dalam dunia politik.  Etika membatasi perilaku para politisi yang kadang lupa darimana mereka berasal dan untuk apa mereka dipilih.  Dunia politik praktis sangat berbeda dengan teori politik sebagaimana anda dan saya belajar selama ini.  Teori politik hanyalah panduan, soal cara ini menjadi bagian dari seni politik praktis.  Karenanya, menjadi mudah untuk dipahami kalau anggota dewan lahir dari latar belakang pendidikan agama, maka perilaku politiknya akan dipengaruhi oleh nilai-nilai agama. Minimal mereka masih ingat ayatnya, sebelum dan sesudah mendapat kursinya.  Syukurlah kalau masih hafal keduanya, ayat kursi. Demikian pula kalau anggota dewannya berlatar belakang pendidikan ekonomi, pasti pikirannya bagaimana memangkas APBD seirit mungkin dan melapangkan seluas-luasnya bagi kepentingan kelompoknya.  Kalau ia lulusan hukum, maka dipikirannya bagaimana membuat perangkap hukum buat kepala daerah agar sewaktu-waktu dapat berurusan dengan pihak berwenang.  Seandainya ia lulusan sekolah pendidikan, maka cara berpikirnya mungkin tak jauh dari bagaimana agar pak sekwan bisa meloloskan berbagai kegiatan diklat sebanyak mungkin ke Jakarta.  Kalau ia lulusan sekolah pertanian, kemungkinan orientasinya bagaimana memupuk solidaritas petani lewat bantuan APBD supaya ikatan politiknya tetap terjaga untuk periode berikutnya. Yang jebolan teknik sipil, berpikir bagaimana mendongkel projek disana-sini biar mudah membangun akses dengan para pemborong dan kontraktor. Bila ia keluaran fakultas sospol, setiap hari pikirannya bagaimana memobilisasi fraksi agar dapat menggoyang eksekutif biar bargaining position dapat meningkat.  Yang parah kalau anggota dewannya benar-benar hanya lulusan sekolah menengah umum.  Semua jenis rencana dan pekerjaan umum selalu muncul dipikirannya. Bahkan, pernah ada salah seorang anggota dewan benar-benar kesulitan baca-tulis.  Kalau rapat atau ikut diklat kerjanya hanya bikin ribut dengan cara mabuk.  Saya kaget dan heran bukan main ketika di undang ceramah di sebuah hotel.  Bagaimana mungkin ada wakil rakyat yang masih terkebelakang seperti ini.  Saya sadar kalau saya ada dimana, tetapi apakah tidak ada lagi dalam masyarakat beberapa orang yang cukup cakap, lancar baca-tulis dan sedikit santun saat rapat.  Saya teringat ketika mengajar anggota DPRD salah satu kabupaten di Jawa, saya menemukan salah seorang anggota dewan yang kerjanya mabuk kepayang saat diklat, posisinya tak tanggung-tanggung, wakil ketua dan keturunan seorang ulama didaerahnya.  Partainya juga termasuk lima besar beraliran religi. Maklum, saya suka bertanya soal latar belakang seseorang lewat kawan-kawannya untuk memahami secara utuh masalah yang dihadapi oleh anggota dewan.  Mereka juga manusia, sama seperti kita yang mengidap penyakit khilaf dan salah.  Kita bisa memaafkan sampai batas tertentu. Bukankah kita juga yang telah memilih mereka selama ini?  Kalau anda mengatakan tidak, pastilah kawan anda yang telah mendudukkan mereka di kursi elit tersebut. Logikanya, kalau mereka beretika, pastilah anda juga beretika, sebaliknya demikian.  Saya tak percaya kalau anda orang beretika lalu memilih wakil yang tak beretika.  Jangan-jangan anda yang tak beretika lagi. Atau kalaupun salah, saya yakin anda mungkin tidak begitu mengenal persis siapa dan bagaimana karakter wakil yang anda pilih selama ini.  Anda mungkin kurang informasi. Atau barangkali anda apolitik selama ini. Mudah-mudahan Tuhan memaafkan anda dan kita semua karena kesalahan memilih itu.  Kawan saya suka menyindir, apakah di kampung anda wakil rakyat sudah terdidik dan penuh adab sopan santun?  Saya suka menjawab dengan sedikit bercanda serta penuh idealisme tanpa melihat kenyataan empirik.  Saya mengatakan bahwa di kampung saya hampir semua anggota dewan cukup terdidik, bahkan semuanya berstatus sarjana sekalipun lewat UTS (Universitas Terbuka Sekali). Saking terbukanya, hingga mungkin tak jelas darimana izajahnya, kapan kuliahnya, dimana sekolahnya, kapan wisudanya, tiba-tiba sudah bergelar macam-macam.  Anggota dewan di kampung saya juga rajin sembahyang sesuai agamanya masing-masing.  Lihat saja kalau hari jumat atau Ramadhan, mereka jarang rapat di kantor, mungkin saja mereka sedang menunaikan ibadah, atau barangkali mereka pindahkan rapat ke hotel tertentu. Mereka juga sangat kritis hingga sering membuahkan angket yang membuat kepala daerah saya susah tidur.  Mereka juga rajin diklat sehingga jarang di kantor, sebab banyak yang ke Jakarta. Mereka sering turun ke lapangan, sekalipun saya tidak dapat menjamin apakah mereka melakukan fungsi pengawasan atau justru sedang mengawasi projeknya masing-masing.  Maklum, mereka wakil rakyat sekaligus wakil kepentingan pribadi masing-masing. Bahkan untuk mengawasi projeknya mereka gunakan mobil dinas. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka sedang melaksanakan tugas dengan baik. Jadi, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.  Anggota dewan di kampung saya juga tak ada lagi yang berperilaku mabuk saat rapat seperti di tempat lain, walaupun saya agak ragu apakah memang mereka benar-benar sudah lebih beradab dibanding anggota dewan lain.  Saya takut jangan sampai hal ini menjadi bumerang bagi saya yang jarang mengamati secara langsung perilaku anggota dewan di kampung halaman.  Saya pasti akan dibuat malu luar biasa.  Saya katakan bahwa kalau anda mau melihat bagaimana etika anggota dewan itu diatur, lihat saja bagaimana kode etik mereka.  Kalau mau melihat bagaimana penegakan kode etik mereka, lihat saja bagaimana laporan Badan Kehormatan selama ini. Mungkin ada benarnya mengapa anggota dewan di Senayan jauh-jauh studi banding ke Yunani hingga mengundang protes disana-sini, saya pikir tidak ada maksud lain kecuali belajar tentang bagaimana perilaku anggota dewan mesti ditertibkan lewat undang-undang etika politik dan berpemerintahan.  Kalau anda masih menemukan ada anggota dewan yang kerjanya masih suka mabuk, apalagi bikin ribut saat rapat hingga tak jelas apa yang mau disampaikan, saran saya sebaiknya anda segera mencari figur baru agar tak salah memilih wakil pada pemilu legislatif berikutnya.  Sebab saya pasti akan menyalahkan anda lebih dulu, bukan anggota dewan yang terhormat, karena mereka hanya menjual diri dan andalah yang memilih dengan semangat ’45. Bagi partai yang menaunginya, ada baiknya mempersiapkan nomor urut berikutnya sebelum di recall, supaya harga diri dan martabat parpol tetap baik di mata publik.  Kalau tidak, partai anda akan mengalami delegtimasi jangka panjang.